REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kota yang terletak di daerah delta Sungai Nil ini sejak zaman purba menjadi pusat peradaban dunia. Pada awal abad ketujuh, Islam menguasai Mesir di bawah komando Amr bin Ash.
Salah satu pusat intelektual yang masyhur di Kairo adalah Universitas al- Azhar. Namanya berasal dari masa Dinasti Fatimiyah yang menguasai Mesir periode 909-1171.
Menurut Ensiklopedia Islam, peletakan batu pertama Masjid Raya al-Azhar, cikal bakal universitas tersebut, terjadi atas perintah Khalifah al-Mu'izz Lidinillah (953-975). Pembangunan masjid ini tuntas pada 971. Awalnya, nama masjid tersebut bukanlah al-Azhar, melainkan Jami' al-Kahhirah. Adapun nama al-Azhar dinisbahkan kepada gelar putri Rasulullah, Fatimah az-Zahra.
Pada awalnya, kegiatan belajar-mengajar di lingkungan al-Azhar dilatari kepentingan mazhab yang dianut penguasa setempat. Namun, dalam perkembangan berikutnya institusi tersebut menjadi lembaga pendidikan tinggi. Kegiatan akademis untuk pertama kalinya berlangsung pada 975 di al-Azhar.
Pemberi kuliahnya adalah Abu hasan Ali bin Muhammad bin an-Nu'man selaku qadi tertinggi Dinasti Fatimiyah kala itu.Jadwal yang lebih teratur berkat dorongan Wazir Ya'kub bin Killis atas izin Khalifah al-Aziz Billah Abu Mansur Nazzar (wafat 996 Masehi).
Saat kekuasaan beralih ke Dinasti Ayyubiyah, Universitas al-Azhar tak terlalu berkembang pesat. Ini lantaran kampus tersebut masih kuat menganut paham sebagaimana dinasti sebelumnya, Fatimiyah.
Perlahan, tapi pasti, para penguasa dan kalangan elite Dinasti Ayyubiyah berupaya menghidupkan lagi aktivitas intelektual di al-Azhar. Mereka mengundang para sarjana dari pelbagai penjuru Dunia Islam untuk datang dan mengajar di sana.
Dalam masa berikutnya, Dinasti Mamluk (1250-1517), Universitas al- Azhar sempat vakum 100 tahun lamanya. Bagaimanapun, periode ini merupakan masa yang penuh kemelut di pelbagai belahan Dunia Islam. Di timur, Baghdad porak-poranda akibat serangan bangsa barbar, sedangkan di Barat terjadi pengusiran di Andalusia.
Dalam momentum itulah, banyak sarjana Muslim dari timur dan Barat yang menyelamatkan diri ke Mesir. Tidak ada alasan untuk menunda aktivitas keilmuan di al-Azhar karenanya. Dinasti Mamluk mendukungnya dengan mengimbau para ulama agar membukukan pengajaran mereka.
Jabatan syekh atau rektor Universitas al-Azhar baru terbentuk pada 1517 Masehi. Seorang rektor al-Azhar berhak memberikan penilaian atau reputasi kepada para sarjana, guru, mufti, dan hakim. Sistem pengajaran di al-Azhar adalah lingkaran-lingkaran studi dalam masjid (halaqah), dengan syarah, diskusi-diskusi (niqasy), dan dialog (hiwar).
Sebelum tahun 1872, ijazah tidak diperoleh para mahasiswa melalui ujian, te tapi keputusan pribadi para guru dengan ketentuan yang ketat. Misalnya, untuk mahasiswa kuliah tertentu, ia di wajib kan mendampingi seorang guru besar sampai wafatnya sehingga diharapkan dapat mencapai taraf keilmuan yang setara.
Selain itu, ada pula ketentuan lain. Bilamana ada mahasiswa yang merasa mampu dalam matakuliah tertentu, ia berkesempatan mengajar dan memberikan fatwa terkait ilmu itu. Perpustakaan al-Azhar berdiri sejak 1879 Masehi dengan jumlah koleksi awalnya sebanyak 7.700 buku.