REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang berlangsungnya Perang Uhud, Rasulullah SAW bersama para sahabat dan kaum Muslimin pun sibuk mempersiapkan bekal serta persenjataan yang akan digunakan di medan perang. Tiba-tiba, datanglah seorang lelaki yang bernama Amar bin Thabit. Ia menyatakan dirinya ingin masuk Islam dan pergi berperang bersama Rasulullah. Niat baiknya ini disambut hangat Rasulullah.
Amar tadinya dikenal sebagai seorang yang pembangkang. Kala keluarga dan warga Madinah lainnya sudah banyak yang memeluk Islam, ia tetap tak mau mengikuti jalan kebenaran tersebut. Ia berasal dari Bani Asyahali. Bahkan, ketika tokoh yang terkenal di kaumnya, yaitu Saad bin Muaz telah mengucapkan syahadat, ia masih tetap teguh pada pendiriannya. Jiwanya masih dipenuhi keangkuhan Jahiliyah.
Sebenarnya, dalam kesehariannya Ammar baik orangnya. Ia mudah bergaul dengan orang, banyak kawan, dan sering menolong temannya yang membutuhkan. Ketika orang-orang di sekitarnya berseru padanya untuk ikut masuk Islam, ia tak mau. "Jika nanti aku menemukan kebenaran yang selama ini aku percaya itu sudah pasti tidak benar, aku baru akan percaya pada jalan baru yang bernama Islam tersebut," jawabnya ketika ia ditanya mengapa ia belum juga bersedia masuk Islam.
Karena teguh pada pendiriannya yang salah ini, ia kemudian dijauhi kawan dan kaumnya. Ia sering terlihat terasing karena masih percaya pada kekuatan selain Allah, padahal seluruh lingkungannya telah memeluk Islam. Orang-orang menganggap hatinya sudah tertutup untuk menerima cahaya Islam yang terang benderang.
Namun, tiba-tiba tanpa ada yang tahu Amar langsung menemui Rasulullah dan menyatakan dirinya telah mantap masuk Islam. Ia pun telah membawa pedang tajam sebagai senjata yang akan digunakannya nanti dalam peperangan bersama Rasulullah. Di hadapan Rasulullah, ia mengucapkan syahadat, bukti resmi bahwa ia telah memeluk Islam.
Namun, peristiwa ini tak ada yang mengetahui kecuali Amar dan Rasulullah. Hingga, saat Amar beranjak bersama rombongan untuk berangkat perang, orang-orang pun heran kepadanya. Ia dianggap masih musyrik dan hanya ikut-ikutan saja menuju medan peperangan. Keluarganya pun tak mengetahui tentang keislaman Amar, begitu juga kaum sesukunya.