REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam kasus hubungan dua sejoli yang tengah mabuk asmara, misalnya, cemburu kerap muncul. Justru, jika rasa ini hilang, kecintaan orang terhadap sesuatu akan dipertanyakan. Tetapi, ternyata hakikat cemburu dalam Islam lebih mulia dan bernilai transendental ketimbang cemburu yang kerap dimaknai salah oleh muda-mudi.
Sebuah risalah sederhana yang ditulis Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Haqil menguraikan tentang ihwal cemburu menurut Islam. Lewat karyanya yang berjudul al-Ghirah Baina as-Syar'i wa al-Waqi', Ibrahim hendak menegaskan hakikat perasaan cemburu itu. Menurut Islam, cemburu sama sekali bersih dan terjauh dari birahi dan nafsu duniawi.
Cemburu—dalam bahasa Arab memakai kata ghirah—yang dimaksud ialah kala seseorang menyaksikan sendi-sendi dan ajaran agama dilecehkan dan tidak diindahkan, hatinya tergugah dan berontak. Seorang mukmin sejati akan merasa cemburu dan tak nyaman ketika melihat larangan-larangan Allah SWT justru banyak dilanggar. “Inilah hakikat cemburu,” tulis Ibrahim.
Minimnya rasa cemburu itu dari seorang mukmin menunjukkan lemahnya frekuensi iman yang dimiliki. Karena, seperti penegasan hadis riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, sesungguhnya Allah akan “cemburu”, demikian pula seyogianya seorang mukmin. “Kecemburuan” Allah itu tatkala larangan-larangan-Nya diabaikan.
Rasulullah SAW merupakan sosok mukmin yang paling memiliki rasa cemburu dalam arti syar'i. Ini ditegaskan dalam hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah. Rasul menegaskan, dirinya merupakan figur “pencemburu” dalam pengertian syar'i. “Dan Allah lebih 'pencemburu' lagi,”sabda Rasul. Dan, para sahabat merupakan generasi berikutnya yang “mewarisi” rasa tersebut secara kental.
Perasaan cemburu itu, sangat urgen dalam Islam. Cemburu dalam pengertian syar'i itu mendatangkan kebaikan dan menghalangi keburukan serta mencegah keprofanaan di masyarakat. Rasa ini juga akan menciptakan suasana yang kondusif dan kontrol sosial yang tinggi di masyarakat.
Nurani mana yang tega saat maksiat bertebaran di sekitarnya. Perlu ada aksi konkret dengan berbagai tahapannya, seperti dakwah dengan lisan, keteladanan, atau upaya persuasif lainnya. Bila perlu represif, dengan menjunjung tinggi aturan dan norma hukum yang berlaku di masyarakat.