Senin 10 Jul 2017 21:15 WIB

Bertani, Industri, dan Perdagangan, Manakah yang Istimewa?

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Petani menanam padi di kawasan persawahannya. (ilustrasi)
Foto: Antara/Fikri Yusuf
Petani menanam padi di kawasan persawahannya. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bertani, berkebun, dan bercocok tanam belakangan memang diterpa dengan bermacam bentuk ancaman. Industrialisasi, misalnya. Perkembangan industri yang cukup pesat turut menggeser profesi tani. Bertani yang dulu “seksi” saat ini tak lagi diminati.

Belum lagi, diperburuk dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada para petani tersebut. Padahal, profesi petani, terutama dengan budi daya tanaman-tanaman produktif, sangat mulia. Islam memosisikan bertani dan berkebun sebagai pekerjaan yang terhormat.

Sebuah kitab klasik besutan Abu Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Umar al-Habasyi al-Wishabi yang berjudul al-Harakah fi Fadhli as-Sa’yi wa al-Harakah mencoba menguraikan urgensi bercocok tanam dan perhatian Islam dalam pengelolahan hasil bumi dari berkebun dan bertani.

Ulama yang wafat pada 782 H itu menegaskan bahwa secara garis besar, ada tiga profesi utama, yaitu bercocok tanam, industri, dan perdagangan. Manakah yang paling istimewa? Beragam respons muncul. Ada yang menilai industri paling bagus, sebagian besar menganggap perniagaan, tetapi pihak lain beranggapan bercocok tanamlah yang paling terhormat. Mengapa?

Mengutip perkataan Imam al-Mawardi, bercocok tanam adalah profesi paling terhormat. Ini lantaran pekerjaan tersebut menuntut dedikasi yang tinggi dan sikap tawakal penuh terhadap Allah SWT. Al-Mawardi pun menukilkan sebuah hadis tentang keutamaan bertawakal. “Orang yang bertawakal akan masuk surga tanpa hisab,”sabda Rasulullah SAW dalam hadis itu.

Imam an-Nawawi menambahkan, pekerjaan ini diposisikan terhormat karena memberikan manfaat yang sangat banyak bagi kelangsungan hidup manusia. Bahkan, faedah bercocok tanam tidak hanya terbatas untuk manusia, tetapi juga berguna bagi makhluk hidup lainnya. Binatang-binatang yang hidup di bumi juga merasakan dampak dari bercocok tanam, seperti sapi, kerbau, kuda, ataupun burung. 

Al-Wishabi menegaskan, hukum bertani adalah fardhu kifayah. Kewajiban tersebut gugur jika telah dilaksanakan oleh sekelompok orang. Bila tak ada satu pun pihak yang melaksanakan tuntutan ini, sanksi dosa akan ditujukan ke semua orang.

Penempatan profesi ini dalam kategori fardhu kifayah disebabkan urgensi dan ketergantungan segenap umat manusia terhadap hasil bercocok tanam.

Kedua imam terkemuka, yakni Imam al-Haramain dan an-Nawawi, menyatakan, ada kalanya fardhu kifayah bisa lebih utama ketimbang fardhu’ain. Karena, tanggungan fardhu kifayah bila tak terpenuhi oleh satu pun orang, dosanya akan dipikul secara kolektif. Berbeda dengan fardhu’ain yang seandainya tak dikerjakan dampak hukumnya kembali ke individu saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement