REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemegahan Tokyo Camii atau Masjid Tokyo menjadi salah satu pemandangan yang cukup unik di ibu kota Jepang. Meski dirancang dengan gaya arsitektur khas Turki, keberadaan bangunan ibadah itu tampak sedikit tersuruk di antara belantara gedung pencakar langit dan blok-blok apartemen yang tenang di kawasan Yoyogi Uehara, Tokyo.
Pemugaran Tokyo Camii secara resmi rampung pada 2000. Namun demikian, pembangunan awal masjid itu sesungguhnya mempunyai sejarah yang panjang.Berawal pada dekade 1930-an, ketika populasi Muslim di Jepang mengalami peningkatan yang signifikan, beberapa masjid mulai didirikan di Negeri Sakura untuk pertama kalinya. Di antaranya adalah Masjid Nagoya yang dibangun pada 1931, lalu disusul Masjid Kobe empat tahun berikutnya. Kedua masjid tersebut dibangun oleh komunitas Muslim pendatang asal India.
Selanjutnya, para imigran Tatar yang melarikan diri dari Revolusi Bolshevik Rusia membentuk kelompok etnis Muslim terbesar di Jepang. Mereka lalu mendirikan Masjid Tokyo dalam bentuk aslinya pada 1938. Inilah titik awal dari pembangunan Tokyo Camii yang ada sekarang.
Salah seorang guru besar studi Jepang dari Universitas Heidelberg, Hans Martin Kramer, menganggap pendirian Tokyo Camii sebagai simbol keterbukaan Jepang terhadap Islam ketika itu. Sebagai bukti, pembangunan awal masjid itu tidak hanya didukung oleh pemerintah Jepang, tetapi juga didanai oleh perusahaan-perusahaan swasta di Negeri Matahari Terbit, terutama Mitsubishi.
"Bahkan, upacara pembukaannya dihadiri pula oleh sejumlah pejabat dan diplomat dari Jepang dan Dunia Islam," kata Kramer, seperti dikutip majalah bulanan Muslim Ink dalam artikel From Two Mosques to 200: Growth of Islam in Japan.
Pengelola Islamic Center of Japan (ICJ) Dr Musa Omer menuturkan, hingga 1970 hanya ada dua bangunan masjid di Tokyo. Kini, di kota itu terdapat 200 masjid, mushala, dan tempat-tempat lainnya yang secara temporer dapat digunakan sebagai tempat shalat. "Jumlah bangunan ibadah ini terus meningkat seiring bertambahnya jumlah umat Islam di Tokyo," ujarnya.
Omer berpendapat, pernikahan termasuk faktor penyumbang peningkatan populasi Muslim di Jepang. Seperti yang terjadi pada November tahun lalu, misalnya, ketika Omer dipercaya membantu menyelenggarakan pernikahan seorang pria Muslim asal Arab Saudi dengan perempuan asli Jepang. "Si pengantin wanita akhirnya memilih untuk masuk Islam setelah dua tahun menjalin hubungan dengan laki-laki tersebut," imbuhnya.
Saat ini, kata Omer, jumlah warga Muslim yang tinggal di Jepang diperkirakan mencapai 120 ribu jiwa. Sekitar sepuluh persen dari mereka adalah orang Jepang asli. Angka tersebut memang masih relatif kecil jika dibandingkan dengan total penduduk Jepang yang sekarang berjumlah 127 juta jiwa.
Arus kedatangan masyarakat Muslim di Jepang dalam jumlah yang signifikan terjadi selama akhir era 1980-an. Kala itu, banyak kalangan Muslim muda dari Pakistan dan Indonesia mencari pekerjaan di negeri Shogun tersebut.
Beberapa dari mereka kemudian ada yang menikah dengan warga Jepang dan menjadi penduduk tetap di sana. Mereka lalu mulai mengumpulkan dana untuk membeli dan mengalihfungsikan rumah-rumah biasa menjadi masjid ataupun pusat komunitas Islam.
"Saya telah menyaksikan sendiri sekitar 600 warga Jepang asli masuk Islam selama tiga dekade ini," tutur ulama Mesir yang kini menetap di Osaka, Mohsen Bayoumy, seperti dikutip The Japan Time, beberapa waktu lalu.