Senin 05 Jun 2017 12:03 WIB

Pejabat yang Ideal, Seperti Apa?

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Pejabat (ilustrasi)
Foto: wordpress
Pejabat (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Di dalam kehidupan sosial bermasya rakat, berbangsa, dan bernegara, tam pil selompok orang yang men da pat kepercayaan rakyat untuk menjadi pemimpin dan menjabat sebagai petinggi ataupun pejabat di pemerintahan.

Mereka memiliki tugas dan kewajiban sesuai dengan departeman masing-masing. Pejabat, tak lain, ialah para pemegang amanat dari para warga. Mereka adalah khadim, para pelayan masyarakat. Lantas, bagaimanakah pejabat yang ideal menurut perspektif Islam?

Syekh Abdul Aziz bin Fathi as- Sayyid Nada, dalam Ensiklopedi Adab Islam Menurut Alquran dan As sunah, menyebutkan beberapa etika dan barometer untuk mengukur ideal atau tidaknya seorang pejabat. Baik etika ataupun para meter itu, sekaligus menjadi kriteria dan syarat yang harus dikerjakan pejabat supaya mendapatkan predi kat aparat yang baik dan bertanggung jawab.

Syekh Nada pun menambahkan, bahkan Allah menetapkan sejumlah hukum syariat itu sebagai kode etik dan adab dalam pemerintahan yang mesti dipraktikkan agar kepemim pinan tidak lantas menjadi malape taka.

Poin pertama yang ia garis bawahi ialah niat dan motif di balik pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Niat mendasar seorang pejabat ialah semata-mata menegakkan ni lai-nilai luhur yang ditetapkan Allah untuk kemanusian. Perkara yang kedua, menurutnya, selayak nya pejabat pemerintah tidak berambisi dan meminta posisi jabatan.

Syekh Nada menyebut, biasanya ambisi itu kerap mengalahkan hati nurani dan rambu-rambu kepatutan yang diajarkan agama. Segala cara, tak jarang, akan ditempuh agar ke inginannya tercapai. Atas dasar ini lah maka Rasulullah SAW mela rangnya.

Hadis Bukhari dari Abu Hurai rah RA, menegaskan akan larangan memburu dan mengemis jabatan. “Kalian akan berambisi untuk menjadi penguasa sementara hal itu akan membuat kalian menyesal di hari kiamat kelak. Sungguh, hal itu (ibarat) sebaik-baik susuan dan sejelek- jelek penyapihan.” Riwayat lain bahkan dengan redaksi yang jelas melarang meminta jabatan. Larangan itu disampaikan Rasulullah ke Abdurrahman bin Samurah.

Etika ketiga, menurut Syekh Na da, ialah sikap adil antarsesama ma nusia. Tanpa berlaku diskriminatif terhadap suatu kelompok. Perlakuan adil seorang pejabat, bisa berupa keputusan dan kebijakan yang tidak sentimen dan memihak satu golong an dengan menafikan pi hak lainnya. Ada banyak dalil yang bisa dijadikan dasar untuk etika ini. Di antaranya, QS an-Nisaa ayat 58, al-Maidah ayat 8, dan surah Shaad ayat ke-26.

Beberapa riwayat hadis juga me negaskan pentingnya berbuat adil itu. Misalnya, hadis-hadis tentang ganjaran bagi para pelaku adil. Gan jaran yang diberikan yang dimaksud seperti naungan dari Allah saat kiamat dan posisi bagi siapa pun yang adil tak terkecuali para pejabat berupa penempatan di mimbar yang terbuat dari unsur cahaya (HR Muslim dari Abdullah bin Amr). Adab yang keempat ialah ber sikap ramah terhadap rakyat. Ka rak ter pejabat yang disegani ialah yang bersikap ramah terhadap ma syarakat sipil. Tidak membeda-bedakan satu sama lain. Bentuk ke ra mahan itu ialah siap menerima aduan dan aspirasi warganya. Termasuk, kala pejabat yang bersang kutan telah pulang di kediaman. Ia memiliki tanggung jawab moral untuk membuka pintu rumahnya buat mereka yang membutuhkan. “Tidaklah serorang pemimpin atau seorang penguasa menutup pin tunya dari orang-orang yang me miliki kebutuhan, keperluan, serta orang-orang fakir, melainkan Allah akan menutup pintu langit dari ke perluan, kebutuhan, dan hajatnya.” (HR Ahmad dan Turmudzi dari Amr bin Murrah).

Adab yang kelima, berhati-hati pada hadiah yang rentan dikategori kan sebagai gratifikasi. Syeh Nada berani memastikan bila ada segelintir orang yang memberikan hadiah kepada penguasa atau pejabat negara, hampir bisa dipastikan di balik pemberian mereka itu tersimpan maksud tertentu. Minimal, agar pejabat yang bersangkutan memiliki kedekatan personal. Atas dasar inilah maka Rasulullah bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada seorang pemimpin adalah pengkhiatan.” (HR Thabrani dari Ibnu Abbas).

Staf ahli yang berkompeten

Syekh Nada menjelaskan, di antara faktor penentu kesuksesan se orang pejabat menjalankan ama nat nya, erat kaitannnya dengan kompetensi staf ahli. Keberadaan tenaga profesional itu, biasanya ialah memberikan bantuan perencanaan, arahan, dan nasihat-nasihat terkait kebijakan tertentu. Posisi ini sangat urgen. Saking pentingnya, peran seorang staf ahli, seorang pejabat bisa tergelincir akibat sepak terjang staf penasihat itu.

Rasulullah bersabda, “Tidak ada Nabi yang Allah utus dan tidak pula ada seorang pemimpin yang Dia angkat kecuali mereka mempunyai dua jenis teman dekat: teman yang menyuruhnya untuk berbuat baik serta selalu membantunya dalam berbuat baik dan teman yang me nyuruhnya berbuat jahat serta selalu mendorongnya untuk melaku kan tindak kejahatan. Orang yang selamat adalah orang yang dijaga Allah.” (HR Muslim dari Aisyah).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement