REPUBLIKA.CO.ID, Saat Islam muncul, media surat merupakan instrumen penting untuk penyebaran Islam di kalangan para pemipin suku atau negara tertentu. Rasulullah menggunakan surat untuk mengajak petinggi sebuah kaum ataupun bangsa untuk memeluk Islam.
Dalam sejarah tercatat, Rasulullah beberapa kali menggirimkan surat. Kesekian surat itu disampaikan oleh utusan yang secara khusus dipilih oleh Rasulullah.
Urusan penulisan suratnya sendiri, Rasulullah memercayakannya ke sejumlah sahabat yang kemudian dikenal dengan para pencatat kuttab. Soal alih bahasa, Rasulullah menunjuk beberap sahabatnya yang lantas disebut sebagai mutarjim.
Jumlah mereka cukup banyak, kurang lebih 43 sahabat. Beberapa di antaranya diulas dalam kitab karangan Ibn Hadidah (783 H) yang berjudul al- Mishbah al-Mudli’ fi Kuttab an-Nabiyy al-Umiyy wa Rusulihi Ila al-Muluk al-Ardl min ‘Arabiyyin wa ‘Ajamiyyin.
Dokumentasi tentang surat-surat Rasulullah SAW dianggap penting dan menyimpan nilai sejarah tinggi. Adalah Muhammad Ibn Thulun ad-Dimasyqi (880-953 H), ulama multidisiplin ilmu menulis kitab yang diberi tajuk A’lam as-Sailin ‘an Kutub Sayyid al-Mursalin.
Karya yang ditulis oleh tokoh bermazhab Hanafi itu diklaim sebagai kitab pertama yang mencoba menginventarisasi surat-surat Rasulullah secara khusus. Jumlahnya memang relatif sedikit.
Tidak semua surat yang pernah dikirimkan oleh Rasulullah terekam oleh para sahabat. Dan, hampir keseluruhannya beralih dari generasi satu ke generasi lainnya melalui cara periwayatan.
Klaim itu mungkin bisa saja benar, lantaran tokoh kelahiran Salhia, Damaskus, Suriah, itu memang ilmuwan yang untuk kali pertama fokus mengumpulkan risalah-risalah tersebut. Tetapi, bukan berarti tidak pernah terdapat tokoh ulama yang mendokumentasikan surat-surat tersebut sebelumnya.
Ada, hanya mereka belum menuangkannya secara khusus ke sebuah karya. Surat-surat itu ditulis berserakan di berbagai kitab sirah nabi atau buku-buku sejarah.
Sebut saja misalnya, Ibnu Ishaq (151 H) yang menulis kitab As Sirah An Nabawiyah, Muhammad Ibn Sa’ad (230 H) dalam kitab ath-Thabaqat al-Kubra, atau Muhammad Ibn Sayyid an-Nass al-Yamuri (734) dengan kitab ’Uyun al-Atsar.
Dari dua kitab yang terakhir itulah, ditambah dengan kitab Nashb ar-Riwayah li Ahadits al-Hidayah karangan az-Zaila’i, Ibnu Thulun banyak menyadur dan menukil surah-surah tersebut.
Setidaknya terdapat 50 buah surat yang terdokumentasikan dalam kitab A’lam. Membaca kitab tokoh yang pernah menggali riwayat dari sekitar 500 ahli hadis itu, penikmat karya-karya ulama klasik akan memiliki berbagai kesimpulan persepsi tentang kategori buku tersebut.
Belakangan surat-surat tersebut sebagiannya masih tersimpan apik di Museum Topkapi, Istanbul, meski dengan kondisi yang rentan rusak. Beberapa hari lalu, surat-surat tersebut dipamerkan berbentuk foto dari jepretan surat aslinya di Madinah dalam sebuah event.
Tampak dari surat tersebut ada yang dikirim ke Heraclius, penguasa Romawi ketika itu, Kisra penguasa Persia, Ashhamah bin Abjar penguasa Habsyah, kini Etiopia.
Surat yang pernah dikirimkan oleh Rasulullah kepada raja Ashhamah bin Abjar, penguasa negara Habsyah, kini Etiopia, dapat menjadi bukti seni berdakwah Nabi.
Tak heran bila surat itu lantas oleh Ibn Thulun sendiri ditempatkan di posisi teratas mengawali uraian surat-surat Rasulullah dalam karyanya tersebut.
Surat tersebut juga dianggap sebagai keberhasilan penggunaan media surat pertama. Menyusul respons positif Sang Raja.
Negara Kristen yang wilayahnya pada waktu itu secara yurisdiksi gerejani berada di bawah Gereja Orthodoks Koptik di Mesir, telah mengulurkan tangan persahabatan untuk membantu umat Islam.
Bahkan, sejumlah riwayat menyebutkan surat itu disusul dengan pernyataannya untuk memeluk agama Islam, sekalipun diperdebatkan di kalangan ahli sejarah, tanpa paksaaan apapun.
Namun respons negatif juga muncul antara lain dari Kisra, penguasa Persia yang menyobek surat yang dikirim tersebut.