REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah penyebaran agama Islam di Pulau Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran sembilan ulama penyebar Islam yang dikenal sebagai Walisongo. Mereka mengembangkan agama Islam antara abad ke-14 dan ke-16 M, menjelang dan setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Para wali itu tak hanya berperan sebagai mubaligh yang mengajarkan kaidah Islam kepada masyarakat dan pembesar kerajaan, tetapi juga menjadi pemimpin masyarakat dan pendamping raja. Karenanya, mereka diberi gelar Sunan (susuhunan atau junjungan), yaitu gelar para raja di Jawa.
Bukti kebesaran Walisongo terlihat, antara lain, melalui peninggalan-peninggalan mereka berupa bangunan, kesenian, dan tradisi Islam di sepanjang pesisir Jawa, mulai dari Gresik (Jawa Timur), Demak (Jawa Tengah), hingga Cirebon dan Banten (Jawa Barat).
Dalam menyiarkan agama Islam, Walisongo menggunakan cara yang tak dirasakan asing oleh masyarakat. Agar dakwah mereka mudah diterima, para Walisongo ini mempelajari bahasa lokal, memperhatikan kebudayaan dan adat, serta kesenangan dan kebutuhan masyarakat setempat.
Karena masyarakat Jawa dikenal sangat menyukai kesenian, para wali itu menggunakan berbagai bentuk kesenian tradisional sebagai media dakwah dengan menyisipkan napas Islam di dalamnya. Di antaranya dengan menciptakan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan pertunjukan wayang dengan lakon Islami.
Sunan Kalijaga, misalnya, mengembangkan wayang purwa, yakni wayang kulit bercorak Islam. Selain itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan corak batik bermotif burung (kukula) yang mengandung ajaran etik agar seseorang selalu menjaga ucapannya.
Dakwah kultural semacam itu juga dilakukan oleh Sunan Drajat melalui tembang Jawa ciptaannya yang hingga kini masih digemari, yaitu tembang pangkur. Sementara Sunan Bonang menghasilkan Suluk Sunan Bonang atau primbon Sunan Bonang, yaitu catatan-catatan pendidikan yang dituangkan dalam bentuk prosa. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu, shalat, dan sebagainya.
Walisongo dikenal sangat peka dalam beradaptasi. Cara mereka menanamkan akidah dan syariat Islam sangat memperhatikan kondisi masyarakat setempat. Misalnya, kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian keluarga tidak diharamkan, tapi sebaliknya acara tersebut diisi dengan pembacaan tahlil, doa, dan sedekah.
Demikian juga dengan penggunaan istilah. Sunan Ampel yang dikenal sangat hati-hati, misalnya, menyebut shalat dengan 'sembahyang' yang berasal dari kata sembah dan hyang. Dia juga menamai tempat ibadah dengan langgar, yang mirip dengan kata sanggar.
Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan ciri khas genteng bertingkat-tingkat. Bahkan, di antara bangunan masjid tersebut memadukan corak bangunan Hindu, seperti Masjid Agung Kudus yang dilengkapi dengan menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon dai, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren, yang menurut sebagian sejarawan, mirip padepokan-padepokan orang Hindu dan Budha untuk mendidik calon pemimpin agama.