REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) menanggapi komentar sejumlah lembaga HAM internasional terkait putusan pengadilan terhadap terdakwa penista agama, Basuki Tjahaja Purnama. Sebelumnya, Dewan HAM Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui akun twitter-nya menyerukan Indonesia untuk meninjau kembali Undang-Undang (UU) Penistaan Agama.
Tim Advokasi GNPF MUI, Kapitra Ampera mengatakan, PBB tidak boleh mendiskreditkan dan berlaku tidak adil. Hampir semua bangsa di dunia ini menerapkan hukum penodaan agama. Di Inggris, Kanada, Amerika Serikat dan Asia, para pelaku penodaan agama dihukum berat. Sebab itu bagian dari kedaulatan bangsa.
"Jangan hanya karena satu orang, terus UU diubah. Sementara, kemarin ada umat Islam yang dihukum di Bali karena penodaan agama tapi diabaikan PBB, karena PBB tidak punya kapasitas untuk itu," kata Kapitra kepada Republika, Kamis (11/5).
Ia menerangkan, kedaulatan suatu bangsa adalah bebas menentukan hukum yang mereka terapkan. Kedaulatan bangsa jangan dipertaruhkan hanya karena satu orang. Jika terjadi intervensi untuk mengubah UU, hal tersebut termasuk kejahatan Internasional. Pemerintah Indonesia harus mengabaikan seruan PBB meninjau UU Penistaan Agama.
Ia menjelaskan, kalau UU Penistaan Agama dicabtu, maka semua orang akan bebas menistakan agama. Sehingga akan terjadi konflik horizontal di Negara Indonesia. Artinya, sama saja dengan membuka kotak pendora untuk memusnahkan Bangsa Indonesia. Maka Indonesia bisa hancur dari dalam.
"Pasal penodaan agama untuk menjaga harmonisasi hidup antar manusia di republik ini," ujarnya.
Ia menegaskan, pasal penodaan agama sangat penting untuk menjaga masing-masing manusia agar bebas melaksanakan ibadah menurut agamanya. Hal tersebut merupakan amanat Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945. Bagaimana bisa diubah UU tersebut, kalau mau diubah maka harus diamendemen UUD 1945.
"Jadi itu tidak boleh dilakukan oleh pemerintah Indonesia," jelasnya.
Ia menambahkan, jangan hanya karena satu orang kemudian UU Penistaan Agama direvisi. Sementara, berapa banyak orang seperti Lia Eden, Arswendo dan lain-lain yang melanggar UU tersebut. Tapi kenapa saat kasus mereka tidak ada yang memerintahkan meninjau kembali UU Penistaan Agama.