REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy, Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, melahirkan rekomendasi atas tiga isu.
Rekomendasi hasil musyawarah keagamaan tersebut untuk isu pernikahan anak, perusakan lingkungan dalam konteks ketimpangan sosial dan kekerasan seksual.
Untuk isu kekerasan seksual, KUPI menyatakan, kekerasan seksual dengan segala bentuknya adalah haram, baik di luar maupun di dalam pernikahan. Pasalnya, hal itu melanggar hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh Islam.
Sedangkan perkosaan, tidak sama dengan perzinahan, baik dari pengertian, pembuktian, maupun hukuman. Dalam pandangan Islam, negara berkewajiban menjamin pemenuhan hak-hak seluruh warga negara, terutama hak-hak korban.
Jika negara dan/atau aparat penegak hukum melakukan pengabaian, mempersulit dan menyia-nyiakan hak-hak warga negara, khususnya hak-hak korban kekerasan seksual, maka berarti negara keluar dari prinsip keadilan dan melakukan kedzaliman serta melanggar Konstitusi.
Untuk itu, KUPI merekomendasikan sejumlah hal terkait masalah itu. Di antaranya, pemerintah bersama dengan legislatif agar segera mengeluarkan kebijakan yang lebih memadai untuk pemenuhan hak-hak korban serta upaya pencegahannya (UU Penghapusan Kekerasan Seksula).
Selain itu, memastikan agar layanan bagi perempuan korban kekerasan seksual diberikan secara maksimal tanpa diskriminasi.
Diberitakan sebelumnya, Pimpinan Ponpes Al Ma'shumy Bondowoso, Siti Ruqoyyah mengatakan perempuan korban pemerkosaan diperbolehkan melakukan aborsi.
"Dari sisi fikih, (umur kehamilan) sebelum empat bulan boleh dilakukan aborsi karena (kehamilan akibat perkosaan) termasuk kehamilan yang tidak diinginkan. Itu hasil paksaan," kata Ruqoyyah.
Dari sisi medis, lanjut Ruqoyyah, aborsi sebelum umur kehamilan empat bulan juga tidak membahayakan rahim perempuan. Namun, harus dicatat, aborsi tersebut harus dilakukan secara medis dan oleh ahli medis di bidang tersebut.