REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dra Hj Siti Faizah *)
Perumpamaan mengenai dua pengusaha besar di bidang perkebunan yang kaya raya dan termasyhur sengaja diabadikan dalam surat Al Kahfi ayat 32-44. Kisah ini diabadikan oleh Sang Pencipta dan pemberi rezeki kepada keduanya. Yang membedakan adalah pada pengenalan tentang diri sebagai hamba Allah, cara menyikapi penciptaan diri, kekayaan, pangkat, dan popularitas. Keabadian kisanya mengandung pembelajaran bagi manusia sepanjang zaman.
Sektika Allah Ta’ala menciptakan seorang manusia, tentu ada keunikan di samping tugas dan fungsi pada setiap penciptaan. Meski ada kesamaan pada tujuan, yakni beribadah kepada-Nya (QS. Adz Dzariyat : 56). Inilah perbedaan mendasar yang melandasi sikap kedua pemilik kebun terhadap harat dan dunia seisinya yang menakjubkan manusia, sehingga menjadi alpa terhadahap peran besar penciptaannya. Yang satu beriman dan yang satu mengingkari ( Al Kahfi : 37-38)
Sesama pemilik lahan yang luas dan subur, ada dialog yang menggambarkan perbedaandalam bersikap. Dialog dalam al Kahfi : 34-36, memperlihatkan kesombongan dan keangkuhan pemilik yang membangkang. Kebanggaannya pada hasil kebun, keindahan kedudukan dan kekayaannya membuat ia berucap, “hartaku lebih banyak dari hartamu, dan pengikutku lebih kuat”.
Tidak terasa bahwa perkataannya bersifat sementara, demikian pula dengan hakekat pemberian Allah SWT di dunia. Seringkali harta dan jabatan memang tampak memukau dan menyenangkan, sehingga tidak sedikit yang kemudian lalai terhadap hakekat kefanaan. Tidak terpikir olehnya bahwa kondisi yang tidak diharapkan bisa saja terjadi. Kemusnahan dan kepunahan kebun, surutnya air sungai yang semula deras mengalir, kehancuran, kebangkrutan dan penyesalan di belakangan hari.bahkan sebelumnya ia mengira kekayaannya abadi. Pun suatu saat ajal menjemputnya, ia meyakini akan mendapat tempat kembali yang lebih baik pemberian-Nya saat di dunia.
Teman bicara pengusaha kebun ini memiliki cara yang berbeda. Pemahamannya akan kekuasaan Dzat yang Maha menciptakan, membuatnya dirinya bersyukur atas karunia-Nya. Mesik orang lain sempat meremehkannya bahkan mencemooh, karena memandang hartanya lebih sedikit dan kebunnya lebih sederhana. Saat ia memasuki kebun, ia mengucapkan “Masya Allah, la quwwata illa billah”. Sesungguhnya atas kehendak Allah, semua ini terwujud. Tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah (QS. Al Kahfi : 38-39).
Kekagumannya tidak berenti pada makhluk ciptaan-Nya semata. Namun, ia selalu teringat keepada Allah Ta’ala, sebagai pencipta dari semua tiada menjadi ada dan ia pula yang memelihara, menyuburkan, dan menumbuhkan bebuahan padanya. Harapannya, untuk majudan sukses selalu disandarkan kepada yang Mahamenciptakan. Karena ia menyadari bahwa hanya Ia (Allah SWT) yang meniadakan apa-apa yang ada dan mengadakan dari yang semula tiada.
Sebagaimana pepatah, “malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih”, bahwa segala sesuatu dalam kehidupan bukan manusia yang menentukan. Pemilik kebun yang sombong itu hanya bisa menyesali sikap dan perilakunya yang kemudia mengakhiri kebahagiaannya yang ternyata sementara.
Kisah ini diabadikan agar manusia briman mengambil hikmah dan tidak terjebak untuk mengulang hal tragis lagi. Betapa urgensi bagi manusia dalam mengenal Allah Swt sebagai hal yang sangat mendasar, bekal mendidik generasi yang pertama dan utama bagi keluarga. Menjadi keimanan kepada-Nya sebagai landasan sikap dan perilaku agar tidak mudah terjebak pada syahwat dunia.
Bahwa kebutuhan manusia terhadap Allah Ta’ala sangat tinggi, karena hanya Ia tempat berharap dan bergantung yang akan memenuhi hajat hidup seluruh makhluk dan tidak akan mengecewakan, baik didunia dan akhirat. Kelalaian, kesombongan, iri, dan dengki, bertumpu pada dunia semata adalah larangan yang penting diwaspadai, agar tidak terjebak pada kemegahan istana Firaun dan Haman, kegagahan kaum Aad dan Tsamud, kezaliman dan kecurangan kaum Syuaib. Kisah serupa bisa jadi akan terulang pada episode kehidupan kini dan mendatang dalam bentuk serupa. Na udzu billah
*) Ketua Umum PP Salimah 2015-2020