Rabu 29 Mar 2017 16:33 WIB

Yaman, Pintu Islamisasi ke Belahan Dunia

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Agung Sasongko
Yaman
Foto: ceegaag.net
Yaman

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepanjang sejarah Islam, negeri Yaman juga menjadi salah satu pintu Islamisasi ke belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia. Faris Khoirul Anam dalam karyanya, Koloni Indonesia di Hadhramaut, menuturkan, orang-orang Hadramaut Yaman sudah lama membuka hubungan dengan kerajaan-kerajaan di nusantara. Bahkan, gelombang migrasi orang Arab ke Indonesia terjadi secara masif pada periode sebelum era penjajahan Belanda.

LWC van den Berg, seorang Islamolog Belanda yang mengadakan riset tentang “Hadramaut dan koloni Arab di nusantara” mengungkapkan, para keturunan Arab di Indonesia dapat cepat membaur dengan pribumi. “Beberapa kabilah (marga) etnis Arab di Indonesia dapat kita jumpai di Hadramaut, seperti as-Segaf, al-Attas, al-Jufri, bin Syihab, bin Thalib, Sungkar, al-Katiri, al-Bar, dan sebagainya,” ujarnya.

Yaman sudah lama dikenal sebagai rumah besar para sayid atau habaib (keturunan Rasulullah SAW). Di negeri itu, keluarga sayid lebih umum dikenal dengan sebutan sadah yang sering pula merujuk kepada keturunan Bani Hasyim.

Menurut Encyclopædia Britannica, keluarga habaib termasuk kelompok suku yang berpengaruh di Yaman. “Nenek moyang para sayid di negeri itu pertama kali datang dari Irak selatan lebih dari seribu tahun yang lampau,” ungkap laman tersebut.

Ba 'Alawi di Hadramaut, al-Wazir Sana'a , al-Shammam di Sa'dah, Sufyan di Juban, dan al-Jailani di Juban hanya beberapa nama keluarga sayid yang kerap dijumpai di Yaman. Dalam hal praktik keagamaan, mereka menganut aliran Syiah, Suni, dan tasawuf. Meski berbeda aliran, mereka hidup saling berdampingan selama berabad-abad.

Para peneliti tidak dapat menemukan banyak fakta yang mendalam tentang habaib Yaman dalam buku-buku sejarah maupun referensi antropolgi lainnya. Alasannya, para sayid tersebut kini terbagi-bagi dalam banyak cabang keluarga dan tinggal di tempat yang beragam pula.

“Apalagi, mereka kini hidup terintegrasi dalam masyarakat di berbagai negara,” tulis Mohammed al-Asadi dalam artikelnya, “From Religious Leaders to Ordinary Citizens: The Changing Role of 'Sadah' in Yemen”, yang dipublikasikan majalah The Ambassadors, volume 8, issue 1 (2005).

Kendati demikian, Paul Driesch dalam buku A History of Modern Yemen pernah mencoba merangkum asal-usul sadah (jamak dari sayid--Red) di Yaman. Menurutnya, kelompok Syiah Zaidi pernah mendominasi kota Sanaa dan sekitarnya selama berabad-abad. Inti dari ideologi yang diusung kelompok tersebut adalah kekuasaan Islam yang sah semestinya diwarisi oleh keturunan Nabi SAW melalui alur pernikahan putrinya, Fatimah, dengan Ali bin Abi Thalib.

Nama kelompok Zaidi sendiri mengacu pada Zaid bin Ali bin Husain bin Ali-yang merupakan generasi keempat Nabi Muhammad SAW dari putrinya, Fatimah RA. “Keturunan Zaid bin Ali itulah yang mula-mula kali diberi gelar sayid. Kelompok ini didirikan di utara Yaman pada 896 M oleh imam pertama Syiah Zaidi, al-Hadi,” tulis Driesch.

Sayyid Ali ibn Ali al-Zaidi dalam artikelnya, A short History of the Yemenite Shi'ites (2005), menuturkan, sepanjang abad ke-12 hingga ke-13, kelompok Zaidi mengakui para imam Syiah dari Yaman tetapi menentang imam-imam Syiah yang ada di Iran.

Pada 952 M, muncul pula keluarga sayid lainnya yang didirikan oleh migran asal Irak bernama Ahmad Isa. Berbeda dengan kelompok Zaidi yang berpaham Syiah, keluarga sayid yang dicetuskan oleh Ahmad Isa justru berasal dari golongan Suni yang berpegang pada mazhab Syafi'i.

“Sejak itu, keluarga-keluarga sayid, baik dari Syiah maupun Suni, memainkan peran sebagai faksi-faksi yang memengaruhi tatanan sosial dan politik di Yaman, bahkan hingga era modern sekarang,” kata Mohammed al-Asadi lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement