Selasa 28 Mar 2017 17:04 WIB
Dialektika Islam dan Budaya

Menag: Dunia Islam Bisa Belajar dari Indonesia

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin

REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, bahwa kehidupan beragama mencerminkan dialektika Islam dan budaya yang sangat baik. Karenanya, terkait hal ini, dunia Islam bisa belajar dari Indonesia.

Hal ini disampaikan Menag Lukman saat memberikan sambutan yang dibacakan Dirjen Pendidikan Islam pada "The 1st Biennial International Conference on Moderat Islam In Indonesia" di Vrije Universiteit, Amsterdam Belanda, Senin (27/3). Konferensi internasional ini mengangkat tema Rethinking Indonesias Islam Nusantara: From Local Relevance to Global Significance".

Menurut Lukman, konflik yang terjadi di Timur Tengah, sebagiannya disebabkan soal-soal ideologis keislaman yang belum tuntas hingga sekarang. Juga soal kesulitan pada diri sebagian ulamanya untuk mendialektikkan Islam dengan kebudayaan. "Pada dua hal itu, dunia Islam bisa mempelajari bagaimana Indonesia mencoba mewujudkan kedamaian dengan memadukan keduanya," kata dia.

Islam yang berkembang di Indonesia, kata Lukman, adalah Islam yang akomodatif terhadap kebudayaan lokal masyarakat. Ajaran-ajaran Islam bisa diserap masyarakat tanpa menumbangkan basis-basis tradisi masyarakat.

Lukman menilai, para Wali tidak ragu meminjam perangkat-perangkat budaya sebagai perangkat dakwah. Sunan Kalijogo menggunakan Wayang Kulit sebagai media dakwah. Dia memasukkan, kalimat syahadat dalam dunia pewayangan. Doa-doa, mantera-mantera, jampi-jampi yang biasanya berbahasa Jawa ditutupnya dengan bacaan dua kalimat syahadat.

"Dengan cara ini, kalimah syahadat menjelma di hampir semua mantera-mantera yang populer di masyarakat," tegasnya.

Hal sama dilakukan Sunan Kudus yang membangun mesjid dengan menara menyerupai candi atau pura. Selain itu, memodifikasi konsep Meru Hindu-Budha, Sunan Kalijogo juga membangun ranggon atau atap mesjid dengan tiga susun yang menurut KH Abdurrahman Wahid untuk melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim, yaitu iman, islam, dan ihsan.

"Ini kearifan dan cara ulama dalam memanifeskan Islam sehingga umat Islam tetap bisa ber-Islam tanpa tercerabut dari akar tradisi mereka sendiri," tuturnya.

"Itu cara dakwah yang ditempuh para ulama Nusantara yang ternyata efektif dalam mengubah masyarakat," imbuhnya.

Dalam berdakwah, kata Menag, para ulama Nusantara berupaya maksimal mengamalkan firman Allah, ud'u ila sabili rabbika bil hikmah wal maw'idhatil hasanah wa jadilhum billati hiya ahsan. Jika dakwah dengan jalan hikmah dan mau'idhah hasanah tak menghasilkan perubahan, maka jalan dialog yang dilakukan, bukan pentungan yang dipukulkan dan pedang yang dihunjamkan.

"Di tengah kecenderungan sebagian umat Islam untuk mendakwahkan Islam dengan jalan kekerasan, maka jalan damai Islam yang fondasinya telah diletakkan para ulama Nusantara bisa dijadikan solusi untuk menyelesaikan konflik dan ketegangan," pesannya.

Acara yang dibuka pada Senin (27/03) pagi ini, dihadiri tidak kurang dari 300 peserta. Mereka adalah para akademisi studi Islam dan Indonesia dari sejumlah universitas di Belanda, Belgia, Jerman, Italia, Libanon, Saudi Arabia, dan Malaysia. Selain itu, ada juga para mahasiswa dan diplomat Indonesia dari sejumlah negara Eropa.

Tampak hadir juga sejumlah Duta Besar, antara lain: Husnan Bey Fanani (Azerbaijan), Agus Maftuh Abigebriel (Saudi Arabia), dan Safira Mahrusah (Aljazair). Konferensi ini akan berlangsung hingga 29 Maret mendatang. Sejumlah narasumber yang hadir antara lain: Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin, Staf Khusus Menteri Agama Hadi Rahman, Intelektual NU Ahmad Baso, dan Indonesianis yang juga Guru Besar Utrecht University Karel Steenbrink.

sumber : kemenag.go.id
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement