Senin 20 Mar 2017 09:37 WIB

Tradisi Keilmuan Ibnu Aqil

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Agung Sasongko
Ilmuwan Muslim.
Foto: Metaexistence.org
Ilmuwan Muslim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tradisi keilmuan tak asing bagi Ibnu Aqil. Ia yang bernama lengkap Abu Al Wafa Ali Ibnu Aqil Ibnu Ahmad Al Baghdadi, sejak belia sudah akrab dengan ilmu. Di kemudian hari, dengan berkah kecerdasannya, lelaki kelahiran Baghdad, Irak, ini menjadi cendekiawan mumpuni.

Ibnu Aqil yang hidup pada 1040 hingga 1119 Masehi, dikenal sebagai pakar hukum. Ia pun menguasai kajian sastra dan memiliki kefasihan berbicara. Ia merupakan seorang yang andal dalam berceramah. Dari tangannya sejumlah karya, terutama mengenai hukum, lahir.

Dalam beberapa catatan biografinya, Ibnu Aqil menyebutkan, sejumlah subjek telah ia pelajari dari para gurunya sejak ia masih belia. Di antaranya, ilmu Alquran, Hadis, waris, fikih, kalam, tata bahasa, tasawuf, syair, ilmu persuratan, seni berdakwah, dan seni berdebat.

Ibnu Aqil banyak mempelajari hukum dengan mazhab Hanbali. Namun, pada masa selanjutnya, pemikiran dan pandangannya lebih cenderung rasional. Ini menyebabkan sejumlah kalangan menolaknya. Sebab, pada masa itu kelompok tradisionalis lebih dominan.

Misalnya, pada 1066 Masehi, ia diangkat sebagai profesor di Masjid Al-Mansur, Baghdad. Namun, banyak kalangan tradisionalis yang menentang dan menuntutnya mundur. Untuk mencegah terjadinya pertentangan yang tak berkesudahan, ia pun memutuskan mundur.

George A Makdisi dalam karyanya, Religion and Culture in Classical Islam, menyebutkan, ada sejumlah karya yang ditulis oleh Ibnu Aqil dalam bidang kajian hukum. Di antaranya adalah Kitab Al Jadal ala Tariqat Al Fuqaha.

Ibnu Aqil pun menuliskan empat artikel yang didasarkan pada materi pidatonya mengenai hukum. Dari beberapa karya utama yang diketahui masih utuh adalah Wadih fi Ushul al Fiqh, yang berisi tentang teori dan metodologi hukum.

Karya utama ini terdiri atas empat jilid. Salah satunya diberi nama Kitab al Funun, yang menjadi bagian paling penting dari Wadih fi Ushul al Fiqh itu. Dalam Kitab al Funun, ia banyak memberikan penjelasan mengenai hukum yang tertulis dalam ratusan halaman.

Penerbitan Kitab al Funun dilakukan pada 1116 Masehi atau tiga tahun sebelum kematian menjemput Ibnu Aqil. Karya ini, juga menunjukkan tahun kematangan dari kehidupannya yang telah lama melakukan kajian hukum.

Namun, Makdisi mengatakan, hanya satu volume dari karya Ibnu Aqil dari bagian Kitab al Funun itu yang berbentuk manuskrip di Paris, Prancis. Selain Wadih fi Ushul al Fiqh, karya utama lainnya adalah Irshad fi Ushul al Din.

Ibnu Aqil memberikan penjelasan tentang teologi dalam karya tersebut. Bahkan, ada sejumlah bagian dari karya ini yang dikutip dalam karya yang ditulis oleh cendekiawan Muslim lainnya, yaitu Ibnu Taimiya dan Yusuf ibn Abd al Hadi.

Sementara dalam karya biografinya mengenai para pengikut mazhab Hanbali, Ibnu Rajab, mengenalkan sosok Ibnu Aqil sebagai seorang cendekiawan yang menguasai banyak ilmu pengetahuan dan orang yang serbabisa.

Ibnu Rajab memberi julukan bagi Ibnu Aqil sebagai sang pakar ilmu Alquran, ahli fikih, ahli teori dan metode hukum, penulis khutbah, dan penceramah. Namun, kata dia, secara khusus Ibnu Aqil tertarik pada dua bidang ilmu, yakni ilmu kalam dan dakwah.

Dari sejumlah catatan, Ibnu Rajab mengungkapkan, sebelum kemunculan Ibnu Aqil dalam ranah pengetahuan, tak ada satu pun intelektual yang bisa dikatakan memahami benar tentang kajian ilmu kalam. Demikian pula, dengan guru Ibnu Aqil, Qadhi Abu Ya'la.

Padahal, Abu Ya'la pada masa itu dikenal banyak menggunakan ilmu kalam saat menuliskan karya-karyanya. Selain karya Ibnu Rajab, juga ada biografi yang ditulis oleh Ibnu Abi Ya'la yang menyematkan ahli kalam pada Ibnu Aqil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement