Sabtu 18 Mar 2017 15:15 WIB

Menantikan Bangkitnya Peradaban Islam

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
Warga mengunjungi pameran peradaban Islam Nusantara yang di selenggarakan di Islamic Center Nusa Tenggara Barat, Sabtu (30/7).
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Warga mengunjungi pameran peradaban Islam Nusantara yang di selenggarakan di Islamic Center Nusa Tenggara Barat, Sabtu (30/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Howard R Turner dalam bukunya Sains Islam yang Mengagumkan menggambarkan besarnya peradaban umat Islam melalui luas daerah yang dikuasainya di masa lalu. ''Dari Semenanjung Iberia, Sisilia, dan daerah-daerah Muslim di Asia Tenggara. Daerah-daerah yang dikuasai Islam saat ini hampir sama dengan yang diwarisi kaum Muslim pada puncak imperium yang pertama, antara abad ke-9 dan ke-11,'' tulisnya.

Atas fakta sejarah itu, umat Muslim wajib bertanya tentang keadaan sekarang yang justru terbalik. Islam pernah memimpin peradaban dunia dengan prestasi yang gemilang selama berabad-abad. Lantas, langkah apa yang mesti ditempuh umat Islam untuk dapat kembali meraih kembali kegemilangan yang telah hilang itu?

Cendikiawan Muslim, Prof Dr Komaruddin Hidayat, mengatakan, ada beberapa hal yang harus dilakukan umat Islam untuk memajukan kembali peradaban Islam itu. Pertama, umat Islam harus mampu memelihara yang baik dari budayanya. Kedua, mampu berinovasi. Dan, ketiga, mau mengapresiasi peradaban lain yang bagus. Singkatnya, umat Islam perlu membangun sikap terbuka.

Jika menengok ke masa lampau, keterbukaan merupakan kunci kemajuan peradaban Islam. Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi mengatakan, Islam adalah sebuah paradigma yang terbuka. Ia merupakan mata rantai peradaban dunia. Dalam sejarah, kita melihat Islam mewarisi peradaban Yunani Romawi di Barat dan peradaban-peradaban Persia, India, dan Cina di Timur.

Dari abad ke-7 sampai ke-16 Masehi, ketika peradaban-peradaban besar di Barat dan Timur mengalami kemerosotan, Islam mengambil alih peran itu dan menjadi pewaris utamanya. Dalam kurun waktu delapan abad itu, Islam mampu mengembangkan warisan-warisan ilmu pengetahuan dan teknologi dari peradaban-peradaban tersebut.

Banyak contoh yang dapat dijadikan bukti tentang peranan Islam sebagai mata rantai peradaban dunia. Misalnya, Islam mengembangkan matematika India, ilmu kedokteran Cina, sistem Pemerintahan Sassanid (Persia), logika Yunani, dan sebagainya.

Akan tetapi, tidak semua yang berasal dari peradaban-peradaban itu diambil mentah-mentah. Ada proses penyaringan dan pengembangan. Dalam bidang-bidang tertentu, Islam menolak logika Yunani yang mengagungkan rasionalitas. Islam menekankan cara berpikir yang lebih menekankan rasa, seperti yang berkembang dalam tasawuf.

Pada tingkat yang lebih praktis, Komaruddin Hidayat memberikan contoh yang cukup baik. Ia mengungkapkan, menara masjid merupakan hasil adopsi dari Majusi. ''Menara artinya tempat api yang dipuja orang-orang Majusi di Persia,'' ujar cendekiawan Muslim Indonesia ini kepada Republika.

Bagi umat Islam, menara kemudian dijadikan simbol untuk mengumandangkan azan dan menara yang akhirnya menjadi bagian dari budaya Islam, padahal bukan dari Islam.

Menurut mantan ketua panwaslu pusat ini, dalam memajukan sebuah budaya, diperlukan berbagai macam inovasi. Produk-produk budaya dari luar yang dianggap baik diterima melalui proses Islamisasi.

Dengan proses ini, umat Islam tidak sekadar mewarisi peradaban, tetapi juga memperkaya. Oleh karena itu, Islam akhirnya mampu menjadi peradaban yang agung. Bahkan, mewariskan khazanah ilmu pengetahuan kepada peradaban Barat sekarang ini melalui Renaisans (pencerahan).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement