Oleh: Imam Nur Suharno
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada zaman dahulu ada seorang kaya yang saleh dan zahid. Setelah merasa ajalnya sudah dekat, hartawan ini memanggil anak laki-lakinya. Dengan suara bergetar ia berpesan (wasiat), "Anakku, rasanya aku tidak lama lagi bakal meninggalkanmu. Nanti, sewaktu orang-orang memandikan jasadku dan memulai mengafaniku, aku ingin engkau memasangkan salah satu kaus kakiku pada kakiku. Ini permintaan terakhirku padamu."
Benar setelah itu, laki-laki tua ini meninggal dunia dan meninggalkan kekayaan, anak-anak, dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Upacara pemakamannya dihadiri sanak keluarga, sahabat, dan tetangganya. Jasadnya telah dimandikan, dan sewaktu hampir selesai dikafani, putranya ingat wasiat sang ayah.
Ia mencari salah satu kaus kaki lamanya dan menyerahkannya kepada orang yang memandikan jenazah. "Tolong pakaikan kaus kaki ini pada kaki ayah. Ini permintaan terakhir beliau," ujarnya.
"Itu tidak mungkin," kata lelaki yang memandikan. "Itu tidak diperbolehkan dalam Islam. Saya tidak bisa melanggar syariat." Meskipun keberatan ini absah, sang putra bersiteguh. "Tapi, Pak, ini permintaan terakhir ayah saya, ini mesti dilaksanakan."
Orang yang mengafani itu bergeming, "Bila Anda tidak percaya dengan ucapan saya, silakan pergi dan tanya kepada mufti (ahli fatwa agama). Dia bakal menginformasikan jika hal itu tidak diperbolehkan." Pemakaman pun ditangguhkan.
Mereka berkonsultasi pada mufti, para khatib, dan kaum intelektual. Semua menyatakan, permintaan seperti itu tidak mungkin dipenuhi dalam Islam. Sementara itu, seorang sahabat almarhum menginterupsi perdebatan tersebut. "Anakku, almarhum bapakmu memberikan surat wasiat yang mesti kuserahkan padamu setelah keberangkatannya. Nih, sepucuk surat untukmu!" Ia memberinya sebuah amplop. Terpesona, si anak laki-laki itu membuka amplop dan membaca isi surat ayahnya.
"Anakku, aku telah mewariskan seluruh harta kekayaan ini padamu. Kini engkau mengetahui, pada momen terakhir, mereka bahkan tidak mau engkau memberiku sepasang kaus kaki lama untuk kukenakan. Kelak, saat engkau sendiri tiba pada suatu hari sebagaimana kualami, mereka pun tak akan mengizinkanmu membawa serta sesuatu pun selain kafanmu. Hanya beberapa senti kain kafan yang bisa kamu bawa dari dunia ini menuju kehidupan akhirat. Dengan demikian, teguhlah dan bersiap-siaplah. Kenakan harta kekayaan yang kuwariskan kepadamu bukan untuk hal sia-sia. Gunakanlah di jalan yang diridhai Allah dan menopangmu meraih kebahagiaan dan keselamatan. Semoga engkau hidup terhormat di dunia dan di akhirat nanti."
Kisah di atas menegaskan, kematian adalah suatu kepastian bagi setiap makhluk yang bernyawa. Ia pasti tiba dalam kondisi dan saat yang kita tidak pernah tahu. Maka, sebelum kematian itu datang, Rasulullah SAW menganjurkan bagi setiap Muslim agar menulis wasiatnya jika ia mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan.
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa." (QS al-Baqarah [2]: 180).
Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seseorang mewasiatkan suatu hak untuk seorang Muslim, lalu wasiatnya belum ditunaikan hingga dua malam, kecuali wasiatnya itu diwajibkan di sisinya." (HR Bukhari).
Semoga Allah membimbing kita untuk dapat menuliskan wasiat (pesan) kepada orang yang kita tinggalkan, dan menjadikan kita yang diwasiati agar dapat menunaikan pesan dari orang yang meninggalkan kita. Amin. n