REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi R Zakaria Subiantoro, Islam bukanlah sesuatu yang begitu asing. Sejak bersekolah SD hingga SMA di Tulungagung, pria kelahiran 1960 ini banyak bergaul dengan kawan-kawan Muslim.
Kendati demikian, masa kecilnya dihabiskan bersama dengan kakek dan neneknya penganut kejawen. Adapun kedua orang tuanya mendidik Subiantoro dalam nuansa Katolik. Ketika memasuki pendidikan SMP, ia bahkan memeroleh nama baptis Zakarias.
Kedua orang tua Subiantoro terbilang cukup taat dalam menjalankan agama mereka. Subiantoro kecil didaftarkan dalam sekolah Minggu yang digelar sehabis ibadat misa rutin.
Namun, pengaruh kedua orang tua mulai memudar ketika Subiantoro memasuki usia remaja. Tepatnya ketika lulus SMA pada 1980 di Malang hingga Subiantoro menjalani status sebagai mahasiswa di kota yang sama. Dalam masa perantauan itulah Subiantoro memulai pencarian jati diri.
Pada 1984, ia diterima bekerja pada sebuah bank konvensional. Kariernya menanjak dari sekadar tukang fotokopi sampai menjadi pegawai tetap. Hidayah datang kepadanya dalam masa-masa itu.
"Saya masuk Islam sambil terus bekerja. Pada 1994, saya masuk Islam. Umur ketika itu 34 tahun. Tetapi, memang baru betul-betul mempelajarinya (Islam) pada sejak tahun 2000,"kata Subiantoro saat dihubungi Republika.co.id, pekan lalu.
Menjadi seorang Muslim secara resmi memang diawali dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun, bagi Subiantoro, ia telah mendekati Islam melalui proses yang lama dalam hidupnya ketika masih beragama lain.