REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Stigma terhadap Islam bisa berlangsung terus menerus dari generasi ke generasi berikutnya. Hal inilah yang dirasakan Susan Carland saat berusia 17 tahun.
Tatkala malam pergantian tahun baru, ia bertekad mempelajari seluruh agama-agama di dunia. Susan saat itu masih seorang non-Muslim atau sama seperti orang tuanya.
Namun, tekad intelektual Susan ini justru mendapatkan protes yang berlebihan dari ibunya. Bahkan, sang ibu mengucapkan, Susan, aku tidak ingin kamu mendekati Islam. Saya tidak peduli bila nanti kamu bahkan menikah dengan seorang pengedar narkoba, asalkan jangan sampai jodohmu seorang Muslim.
Betapa terkejutnya Susan ketika itu. Padahal, dalam benaknya Islam masih dipenuhi berbagai stigma negatif, semisal, agama pendukung kekerasan terhadap perempuan dan sebagainya.
Kecaman yang berlebihan dari sang ibu malah kian memacu semangatnya mempelajari Islam sebagaimana adanya agama itu. Setidaknya, ia ingin menjawab pertanyaan, ada apa dengan Islam, sehingga pengedar narkoba dianggap lebih baik ketimbang seorang Muslim?
Seperti dirawikan AboutIslam.net, Ahad (26/2) lalu, Susan hanya perlu waktu dua tahun untuk hidayah datang kepadanya. Pada usia 19 tahun, Susan akhirnya memeluk Islam, agama yang ia pelajarinya tanpa tendensi. Susan menceritakan, dirinya menjadi seorang mualaf tanpa arahan, apalagi paksaan siapa pun. Itu murni timbul dari kesadaran batinnya sendiri.
Yang paling terkejut menerima kabar ini tentu ibunya. Pada saat itu Susan masih belum mengungkapkan jati dirinya yang telah meninggalkan agama Nasrani.
Suatu malam, Susan hendak menikmati makan malam buatan ibunya, tetapi sajian yang terhidang adalah daging babi. Saat itulah Susan buka suara tentang agama barunya kini.
Ibuku langsung memelukku. Tetapi, ia juga menangis, ujar Susan Carland. Beberapa hari kemudian, Susan mulai mengenakan hijab. Perlahan-lahan, hubungan ibu-anak itu mulai merenggang.