REPUBLIKA.CO.ID, Cita-cita membangun masjid nasional sudah mengendap di kalbu Muslim Indonesia sejak negara tersebut memproklamasikan kemerdekaannya. Namun, niat ini baru konkret kemudian pada 22 Februari 1978 dengan berdirinya Masjid Istiqlal di Jakarta Pusat.
Pada awalnya, ide pembangunan masjid nasional pertama kali dibicarakan pada 1950 atau hanya beberapa bulan setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda. Menteri agama kala itu, KH Abdul Wahid Hasyim (ayahanda Gus Dur) mengundang sejumlah tokoh Muslim, seperti H Agus Salim, H Anwar Tjokroaminoto (putra HOS Tjokroaminoto), dan Ir Sofwan. Pertemuan para tokoh ini kemudian ditindaklanjuti dengan rapat akbar yang mengumpulkan sekitar 300 ulama di bawah pimpinan KH Taufiqurrahman di Gedung Deca Park, Jakarta.
Pada 1953, hasil rapat yang berintikan kehendak membangun masjid nasional disampaikan kepada Presiden Sukarno. Proklamator RI menyambutnya gembira.
Pada 7 Desember 1954, Yayasan Masjid Istiqlal dibentuk. Gedung Deca Park di Lapangan Koningsplein (rakyat Jakarta masa itu menyebutnya Lapangan Gambir) menjadi saksi bisu peresmian yayasan tersebut di hadapan notaris Elisa Pondag. Kini, Gedung Deca Park sudah tak berbekas lantaran ikut digusur akibat proyek pembangunan Menara Nasional (Monas).
Adapun nama “Istiqlal” diambil dari kata dalam bahasa Arab yang bermakna ‘merdeka.’ Rumah ibadah ini dimaksudkan sebagai simbol rasa syukur segenap bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang merupakan rahmat Allah SWT.
Presiden Sukarno ingin agar Masjid Istiqlal menjadi kebanggaan Indonesia bukan hanya di tingkat nasional, melainkan internasional atau regional. Karena itu, penentuan lokasi Masjid Istiqlal tidak hanya bernuansa simbolis, melainkan juga politis (siyasah).
Bahkan, rencana pembangunan Masjid Istiqlal sempat tertunda lantaran soal penentuan lokasi. Hal ini akibat perdebatan antara Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Baca tulisan-tulisan dari Republika.co.id dalam edisi khusus Sejarah Masjid Istiqlal, Senin (6/3) mendatang.