REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Al-Itqan Fi Ulum Alquran adalah kitab rujukan utama dalam studi-studi ilmu Al quran. Sejak dikarangnya kitab itu hingga era modern ini, studi-studi Alquran tak mungkin dapat terlepas dari kitab yang fenomenal ini. Tak heran jika editor manuskrip kitab ini menyebutnya sebagai rantai emas yang terangkai dalam bingkai studi-studi Alquran pada umumnya.
Al-Itqan menjadi referensi di kalangan umat Islam, baik tradisional maupun kontemporer, yang fundamental maupun liberal. Al-Itqan dibaca oleh sarjana-sarjana di perguruan tinggi juga para ulama di pesantren-pesantren.
Kita mengenal dua macam studi Alquran, yaitu studi kandungan Alquran (tafsir) dan studi ilmu tafsir Alquran. Al-Itqan adalah studi tentang keilmuan yang membantu memahami dan menafsirkan Alquran. Meski kelahiran studi ilmu Alquran muncul belakangan dibandingkan studi ilmu hadis, dengan munculnya kitab Al-Itqan ini, muncul pula geliat kajian studi-studi Alquran dalam sejarah keilmuan Islam.
Studi Alquran yang terdapat di dalam Al-Itqan adalah studi-studi tentang tajwid, qiraat, rasm (tulisan) Alquran, kemukjizatan Alquran, na sikh mansukh, muhkam mutasyabih, i`rab Alquran, makkiy madaniy, balaghah Alquran, dan ilmu-ilmu dasar menafsirkan Al quran.
Meskipun secara de facto, ilmuilmu tersebut sudah ada semenjak zaman kenabian, secara de jure, studi tentang ilmu-ilmu itu baru dilakukan pada masa-masa belakangan hingga abad keempat hijriah ketika kodifikasi studi Al quran mulai menjadi sebuah karya disiplin yang tersendiri.
Tepatnya ketika Ali bin Ibrahim al- Hufiy menulis buku yang berjudul, Al-Burhan Fi Ulum Al-Quran, meskipun manuskripnya tidak ditemukan. Al-Itqan dikarang oleh seorang ulama yang prolifik dan eksklopedik, Imam Abdurrahman bin Abu Bakar bin Muhammad Al-Suyuthiy (1445-1505 M / 849-911 H). Ia seorang ulama kelahiran Kairo, Mesir, yang ditinggal wafat ayahnya sejak berusia lima tahun.
Al-Suyuthiy mempergunakan sebagian besar masa hidupnya dengan mewakafkan diri untuk ilmu agama. Ia wafat pada usia 62 tahun dan dimakam kan di Kairo. Karyanya mencapai lebih dari 600 kitab, baik yang besar maupun kecil, dalam berbagai disiplin keilmuan, yakni ilmu tafsir, hadis, fikih, bahasa atau linguistik, balaghah, sejarah, sastra, dan tasawuf.
Dalam ketujuh disiplin keilmuan tersebut, ia telah mengungguli para gurunya, kecuali dalam bidang ilmu fikih. Di bidang ilmu ini, ia menga kui gurunya berwawasan lebih luas. Sedangkan, dalam ilmu sarf, ushul fiqih, qira`at, fara`id, dan kedokteran, al-Suyuthiy dengan rendah hati mengakui hanya memiliki pengetahuan yang terbatas. Dengan kerendahan hatinya itu pula, ia tidak segan mengakui bahwa diri nya mempunyai kesulitan ketika belajar matematika. Saat belajar ma te matika, ia menggambarkan seakan-akan dirinya sedang membawa gunung di pundaknya.
Julukan al-Suyuthiy adalah Jalaluddin (keagungan agama). Dalam hal ini, ia dijadikan simbol keagung an Islam karena karya-karyanya serta perannya dalam khazanah keilmuan sejak abad pertengahan. Meski mendapatkan kritikan dari al-Sa khawi yang hidup sezaman dengan dia, al-Suyuthiy tetaplah seorang ulama besar yang prolifik dalam menulis karya-karya keislaman.
Bahkan dalam kitabnya, Husn Al-Muhadharah, ia mengaku telah menguasai perangkat-perangkat yang dibutuhkan seeorang dalam berijtihad sehingga tidak salah jika ada yang menyebutkan bahwa al- Suyuthiy adalah mujaddid (pembaru) pada abadnya.