REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Muhammadiyah adalah gerakan yang diisi ideologi moderat, tengahan, dan menjadi penengah. Oleh karenanya, di tengah perang ideologi yang saat ini banyak muncul ke permukaan, Muhammadiyah berperan mengembalikan ekstremitas ke titik tengah.
Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015 Din Syamsuddin saat menjadi pembicara kunci Seminar Pra-Tanwir Muhammadiyah 2017 di Universitas Muhammadiyah Malang, Rabu (22/2). "Muhammadiyah mengedepankan praksisme keagamaan daripada populisme keagamaan, meski demikian tidak ada kompromi dalam bidang akidah," ujarnya.
Praksisme, lanjut Din, adalah kecenderungan memadukan ide dan aksi nyata. Sehingga, kader-kader Muhammadiyah proaktif memurnikan akidah dan berinovasi dalam kebudayaan tanpa memunculkan bid'ah.
Perang ideologi dan budaya dewasa ini memunculkan egoisme dan individualisme yang tampil dalam bentuk ultra. Diproyeksi akan muncul figur-figur kuat yang bisa mengemas isu dalam bentuk ultra baik itu ultranasionalisme, ultramodernisme, dan lain sebagainya.
Namun dalam pandangan Din, masa depan pemikiran adalah moderasi tengahan dan inilah yang sesungguhnya Islami. Pemikiran moderat tidak mengedepankan ekstremisme baik konservatif radikal maupun rasional liberal.
"Indonesia sebagai negara majemuk tak lepas dari pengaruh-pengaruh ekstremisme tersebut. Bahkan ekstremisme telah membuat umat di Indonesia terbelah dalam berbagai golongan," ujarnya.
Karena itu, ormas-ormas Islam di Indonesia tidak perlu merasa terancam dengan perang ideologi tersebut. "Kita harus percaya diri membawa Muhammadiyah sebagai organisasi yang mengedepankan pendekatan dialogis dan mengembalikan ekstremitas ke titik tengah," ucap mantan ketua MUI ini.