REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jalur Sutra sudah masyhur pada era 130 sebelum Masehi hingga 1452 Masehi sebelum jalur ini ditutup Kesultanan Turki Utsmani yang memboikot perdagangan dengan Barat. Meski secara praktikal Jalur Sutra terkait dengan Dinasti Han di Cina, jalur ini pada dasarnya adalah jalan bagi kaum bangsawan Persia, dari Susa di utara Persia hingga Laut Mediterania di Asia Minor (Turki).
Jalur ini dilengkapi kantor-kantor pos yang siap mengantarkan surat kilat yang diantar kuda. Para bangsawan Persia menjaga jalur ini dengan baik meski kala itu jalannya tak seberapa lebar.
Karena itu, pada masa kuno, bahasa lazim dalam komunikasi di Jalur Sutra adalah Bahasa Soghdian, bahasa daerah Iran yang saat ini masih dituturkan orang-orang di Lembah Yaghnob di Tajikistan. Sementara, dalam periode Islam, bahasa lazim Jalur Sutra adalah Bahasa Persia.
Pada abad 19, muncul tipe baru pengelana di Jalur Sutera. Mereka adalah ahli ilmu yang mencari petualangan, para arkeolog, dan ahli geografi. Para ilmuwan itu meneliti situs-situs bersejarah, temuan arkeologi, dan menggelar studi-studi ilmiah terkait Jalur Sutra.
Berkat upaya para ilmuwan tersebut, banyak bangunan bersejarah, monumen, kota, caravanserai, dan aneka hal tentang Jalur Sutra masih bisa ditemui hingga hari ini. Namun, selain itu semua, peninggalan Jalur Sutra ada pada berbagai hal yang mungkin tidak disadari keberadaannya, seperti bahasa, budaya, dan agama yang berhasil bertahan melalui bentangan abad. Interaksi budaya dan perdagangan lintas negara ini juga terus berlanjut hingga saat ini. Bisa dibilang, Jalur Sutra ikut andil mengembangkan budaya di Eurasia.