Rabu 08 Feb 2017 16:05 WIB

Dinasti Buwaihi, Pelindung Seni dan Budaya

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Kitab kajian pertanian karya ilmuwan Muslim di abad pertengahan.
Foto: Muslimheritage.com
Kitab kajian pertanian karya ilmuwan Muslim di abad pertengahan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinasti Buwaihi memang tidak sekondang dinasti-dinasti besar yang pernah berkuasa di dunia Islam, misal Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, atau Mamluk. Namun, era pemerintahan Buwaihi patut dicatat dengan tinta emas sejarah Islam karena turut mengangkat kegemilangan umat Islam di bidang ilmu pengetahuan dan budaya.

Kekuasaan dinasti ini berlangsung selama 80 tahun, yaitu sejak 928 hingga 1008. Di antara tokohnya yang terkenal adalah Adhud al-Daulah. Semasa memegang tampuk kepemimpinan, seperti disebut Joel L Kraemer dalam buku Renaisans Islam, peradaban Islam mencapai puncaknya.

Nama aslinya Abu Syuja Fanna Khusrau dan merupakan amir Dinasti Buwaihi paling berkuasa. Ia terlahir di Isfahan tahun 936 dan wafat pada 983. Adhud al-Daulah sejatinya adalah gelar yang diberikan oleh Khalifah al-Muthi, yang berarti Penyangga Negara.

Karier politiknya dimulai pada 949. Dia menggantikan pamannya, Imad al-Daulah, yang tidak memiliki putra, sebagai penguasa Fars dan beribu kota di Syiraz (949-978). Saat itu usianya masih sangat belia, tepatnya 13 tahun.

Menurut Joel Kraemer, sejak dini Adhud telah tertarik pada bidang ilmu pengetahuan, agama, dan budaya. Tercatat, guru pertamanya adalah kepala ustaz Abu al-Fadhl ibn al-Amid.

Di bidang astronomi, pembimbingnya adalah Abd al-Rahman al-Shufi, seorang astronom Muslim terkenal. Adhud al-Daulah juga memanggil ahli tata bahasa bernama Abu Ali al-Farisi untuk menjadi guru pribadinya. Ia pun menimba ilmu dari sejumlah guru terkemuka lainnya. 

Karena itulah Adhud al-Daulah sangat mendukung kemajuan ilmu serta seni budaya. Selama memerintah di Syiraz, ia menjadikan istananya sebagai pusat diskusi intelektual, yang melibatkan para teolog, ahli-ahli tata bahasa, dan penyair.

Sebuah perpustakaan besar juga dibangun. Buku-buku koleksi mencakup aneka bidang ilmu dicatat rapi di dalam katalog, dan diletakkan di rak-rak sesuai tema. Perpustakaan dikelola oleh seorang kepala, pengawas, dan  bendahara.

Di Syiraz pula, Adhud al-Daulah membangun fasilitas observatorium. Al Biruni, sejarawan Muslim klasik, melaporkan, Adhud al-Daulah mendukung dilakukannya observasi deklanasi (rash al-mal atau pengamatan kemiringan) yang dilakukan Abd al- Rahman al-Shufi.

Menurut penjelasan Joel Kraemer, berbagai kegiatan keilmuan ini secara langsung mengangkat reputasi Syiraz sebagai salah satu pusat ilmu dan budaya di dunia Islam. Para cendekiawan dan seniman dari seluruh penjuru wilayah berdatangan ke kota tersebut.

Penjelajah ulung Abu Dulaf al-Khazraji diketahui pernah singgah ke Syiraz semasa Adhud al-Daulah berkuasa. Ia lantas terlibat diskusi intelektual dengan Abu Ali al-Ha'im al-Mada'ini, yang juga anggota istana. Penyair legendaris al-Mutanabbi juga sempat mengunjungi al-Daulah serta mempersembahkan sebuah pujian padanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement