REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Atabik Luthfi, Ketua Departemen Dakwah PP Ikadi
Sebuah ‘anugerah’ yang tiada terhingga bagi umat Islam khususnya, dengan kehadiran sosok ulama ‘Ma’ruf Amin’. Judul tulisan ini dapat berkonotasi seorang ulama kharismatik, yaitu ketua MUI pusat, ra’is am PBNU, anggota dewan penasihat Ikadi, dan sekian banyak jabatan keagamaan yang disandangnya.
Ma’ruf Amin juga dapat dibaca sebagai sifat yang melekat pada pribadi tokoh ini, yaitu yang dikenali dengan kebaikannya dalam maknanya yang luas (Ma’ruf) dan yang dapat dipercaya (Amin)
Kata ulama dalam makna terminologisnya yang khusus memang hanya tersebut satu kali dalam Alquran, yaitu di ayat 28 surah Fathir yang artinya: “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
Hal ini mengisyaratkan, tidak mudah menemukan sosok tokoh yang benar-benar layak disematkan gelar ulama, seperti hanya sekali Alquran menyebut istilah ini. Rasulullah SAW mengilustrasikan dalam riwayat Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya manusia seperti unta sebanyak seratus, hampir-hampir tidaklah engkau dapatkan diantara unta-unta tersebut, seekor pun yang layak untuk ditunggangi” (Muttafaqun ‘alaih).
Imam As-Sa’di memahami ayat ulama di atas sebagai anugerah dan ‘karamah’ dari Allah SWT. Karena seorang yang besar khasyyahnya kepada Allah lah yang layak meraih anugerah kemuliaan tersebut. Parameter khasyyah ini kemudian menjadi penting dan tepat untuk dijadikan standar keulamaan seseorang di zaman sekarang ini. Keilmuan dan kepakaran memang penting, penguasaan dan pendalaman bidang tidak bisa dinafikan begitu saja. Namun karakteristik khasyyah justru yang disebutkan secara tekstual pada ayat ulama tersebut.
Secara bahasa, khasyyah berarti khawatir, cemas, dan takut yang menunjukkan kedekatannya dengan Allah SWT dan kepekaan dan perhatian besarnya terhadap nasib umat.
Dalam konteks dakwah di era kontemporer, sosok yang mampu tampil sebagai seorang yang bijaksana dengan senioritas dan pengalaman dakwah sangat membantu perjalanan dakwah yang membawa kebaikan. Dikatakan Hamasatusy syabab dan hikmatusy syuyukh, mobilitas yunior dan diimbangi dengan kebijakan senior merupakan dua pondasi penting dalam dakwah.
Sosok KH Ma’ruf Amin dengan hikmahnya amat dibutuhkan dalam sinergitas keumatan dewasa ini. Alhamdulillah umat tentu bangga dengan kehadiran kiai panutan umat di tengah hilangnya kendali pada umat dewasa ini. Umat sudah menemukan tokoh rujukan, panutan, dan kendali yang bervisi keumatan dan kebangsaan.
KH Ma’ruf Amin tidak hanya diakui secara kultural berkat dakwahnya yang menyapa seluruh lapiran masyarakat, lintas ormas dan partai, namun juga secara struktural, beliau ketua MUI pusat yang diakui ketegasan dan kebijakannya dalam menghadapi berbagai persoalan keagamaan, keumatan, dan kebangsaan.
Tentu kebanggaan kita terhadap beliau dapat diaktualisasikan dalam bentuk penghormatan terhadap institusi yang beliau nahkodai, melaksanakan semua pesan dan fatwanya, serta siap membela setiap sikap dan langkah beliau. Umat yang demikian beragam membutuhkan sosok pemersatu ‘muwahhid’ yang mampu membaca harapan umat dengan baik
Oleh karenanya menjadi ironi, sekelas KH Ma’ruf Amin masih mendapat perilaku dan perlakuan yang tidak ‘menghargai’ -dari sudut pandang apapun- yang akan menjadi persepsi dan citra publik. Karena beliau adalah representasi dari seluruh ulama secara nasional, yang di dalamnya sekian banyak kiai, haba’ib, muballigh, pimpinan pesantren, lembaga keagamaan, dan seluruh organisasi dan lembaga terkait. Semoga sikap beliau akan dapat menjadi value yang terukur dalam konteks kebangsaan dan keumatan di masa mendatang.