REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diketahui salinan Alquran tertua ditemukan di Sana'a pada 1972 M. Sejak kehadiran Islam hingga berdirinya subnegara mandiri di bawah Khalifah Islam Yaman, Sana'a tetap bertahan sebagai pusat pemerintahan.
Imam Syafi'i yang pada abad kedelapan membangun mazhab Syafi'i, sempat beberapa kali berkunjung ke Sana'a. Imam Syafi'i memuji Sana'a dan membuat tulisan berjudul La Budda Min Sana'a (Sana'a, Kota yang Harus Dilihat).
Pada abad kesembilan dan sepuluh, ahli geografi Yaman, al-Hamdani juga membuat catatan tentang Sana'a. ''Rumah paling sederhana di Sana'a memiliki satu dua sumur, sebuah taman, penampungan sampah terpisah, septic tank, tak ada bau tercium. Sebuah tempat yang nyaman untuk berjalan-jalan,'' tulis al-Hamadi.
Pada abad 10, ahli geografi Persia Ibnu Rustah juga menulis tentang Sana'a. Ia memuji Sana'a dan menyebutnya tak ada kota sebesar sesejahtera dengan makanan yang serba enak seperti Sana'a.
Pada 1062 M, Sana'a diambil alih oleh Dinasti Sulayhid yang dipimpin al-Sulayhid dan istrinya, Ratu Asma. Ia menjadikan Sana'a sebagai ibu kota bagi kerajaannya yang relatif kecil yang juga mencakup pegunungan Haraz. Kerajaan Sulayhid memilih berafiliasi dengan Kekhalifahan Fatimiyah di Mesir ketimbang dengan Kekhalifahan Abbasiyah.
Al-Sulayhid memimpin selama sekitar 20 tahun. Kepemimpinannya berakhir setelah ia dibunuh pesaingnya dari kelompok Najahid.
Setelah kematian Al-Sulayhid, kepemimpinan Dinasti Sulayhid diteruskan oleh putri Al-Sulayhid, Arwa al-Sulayhid. Ia memindahkan ibu kota dari Sana'a ke Jibla dan memimpin Yaman dari 1067-1138 M. Selanjutnya, Dinasti Hamanid mengambil alih Sana'a.
Pada 1173 M, Sultan Ayyubiyah dari Mesir mengutus saudara lelakinya, Turan-Shah, dalam sebuah ekspedisi penaklukan Yaman. Dinasti Ayyubiyah berhasil mengambil alih Sana'a pada 1175 M dan berhasil mempersatukan berbagai suku di Yaman, kecuali suku di pegunungan utara.
Dinasti Ayyubiyah mengganti agama resmi di Yaman menjadi Islam Sunni. Selama rezim Emir Tughtekin Ibnu Ayyub, Sana'a mengalami berbagai perbaikan termasuk di dalamnya adalah integrasi lahan di tepi barat Sa'ilah (Bustan al-Sultan) di mana Dinasti Ayyubiyah mendirikan sebuah istana di sana. Karena lokasi Sana'a yang strategis, Dinasti Ayyubiyah memilih Ta'izz sebagai ibu kota negara dan Aden sebagai pusat bisnis.
Ketika Dinasti Rasuliyah memimpin Yaman yang kemudian dilanjutkan Tahiriyah, Sana'a tetap menjadi pusat orbit politik hingga akhirnya Mamluk tiba di Yaman pada 1517 M.
Dinasti Turki Utsmani memasuki Yaman pada 1538 M saat Sulaiman al-Qanuni menjadi sultan. Di bawah pasukan militer yang dipimpin Özdemir Pasha, Kekhalifahan Turki Utsmani berhasil menaklukkan Sana'a pada 1547 M. Dengan persetujuan Dinasti Turki Utsmani, para petinggi bangsa Eropa di kota pelabuhan Yaman, yakni Aden dan Mocha secara berkala mendapat keleluasaan berdagang di Yaman.
Pada 1602 M, para imam Zaidiyah setempat di bawah pimpinan Imam al-Mu'ayyad berhasil memukul mundur tentara Turki Utsmani. Pasukan Turki Utsmani pun menjauh dari Yaman selama era Dinasti Mu'ayyad dan bangsa Eropa kehilangan keleluasaan mereka.
Para imam Zaidiyah memimpin Yaman termasuk Sana'a hingga pertengahan abad 19 ketika Turki Utsmani kembali melancarkan usaha menguasai negeri itu. Pada 1835 M, pasukan Turki Utsmani tiba di pesisir Yaman di bawah kepemimpinan Muhammad Ali. Namun, mereka belum mengambil alih Sana'a hingga 1972 sampai akhirnya pasukan Turki Utsmani di bawah pimpinan Ahmed Muhtar Pasha berhasil memasuki Sana'a.
Di bawah Turki Utsmani, Sana'a ditata dan dibangun kembali. Jalan-jalan baru dibangun, sekolah dan rumah sakit berdiri. Reformasi masif dilakukan oleh Dinasti Turki Utsmani guna mengokohkan kendali mereka atas Sana'a. Hal itu juga untuk mengimbangi perkembangan Mesir, pengaruh Inggris di Aden, serta pengaruh Italia dan Prancis di sepanjang pantai Somalia terutama Djibouti dan Berbera.
(Baca Juga: Kota Sana'a Harta Karun Timur Tengah)