REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam menaruh perhatian begitu besar kepada kaum perempuan, termasuk menghormati kebebasannya dalam memilih pasangan hidup. Bahkan, Rasulullah SAW memerintahkan kepada kaum perempuan untuk menikah dengan orang yang dicintainya tanpa ada paksaan dari siapa pun, baik oleh orang tua maupun wali perempuan tersebut. Pesan itu seperti yang tersirat dalam kisah sahabiyah, Khansa binti Khadzadzam al-Anshari.
Khansa adalah sahabiyah yang berasal dari kaum ansar dan merupakan keturunan dari Bani Amru bin Auf bin Aus. Pada saat itu, Khansa dilamar oleh dua orang. Pertama, seorang sahabat dan pejuang Islam, Abu Lubabah bin Mundzir. Kedua, seorang pria dari Bani Amr bin Auf yang masih memiliki hubungan kerabat dengan Khansa, yaitu anak dari salah satu paman Khansa.
Khansa sebenarnya lebih tertarik dengan Abu Lubabah daripada kerabatnya tersebut. Namun, ayah Khansa lebih suka jika Khansa menikah dengan keponakannya tersebut. Akhirnya, Khansa dipaksa menikah dengan kerabatnya tersebut. Atas nasib yang menimpa dirinya, Khansa pun mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW.
Seperti dikutip dalam buku berjudul Perempuan-Perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW karya Muhammad Ibrahim Salim, Khansa berkata kepada Rasulullah SAW, "Sesungguhnya bapak saya telah memaksa saya kawin dengan orang yang diinginkannya, sedangkan saya sendiri tidak mau.'' Rasulullah SAW kemudian bersabda, ''Tidak ada pernikahan dengannya, kawinlah engkau dengan orang yang kamu cintai.''
Kemudian, Khansa akhirnya menikah dengan Abu Lubabah. Dalam bukunya Salim menuturkan, seorang wanita memang seharusnya memahami arti sebuah pernikahan. Pernikahan tersebut harus dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang tanpa ada sedikit pun unsur paksaan atau penipuan.
Karena itu, lanjut Salim, seorang wali atau orang tua tidak berhak memaksa anaknya menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Atas dasar ini, Rasulullah SAW akhirnya mengurungkan pernikahan Khansa dengan kerabatnya tersebut.
Sebenarnya, para ahli hadis masih memiliki perbedaan pendapat terkait status Khansa saat menikah dengan Abu Lubabah. Dalam riwayat al-Muwatha' dan ats-Tsauri, pada saat pernikahan dengan Abu Lubabah tersebut Khansa masih perawan. Sedangkan, pada riwayat Bukhari dan Ibnu Sa'ad, Khansa telah berstatus janda saat menikah dengan Abu Lubabah.
Dalam pendapat Bukhari dan Ibnu Sa'ad, diriwayatkan perkataan kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak paman saya (suami pertama Khansa) lebih suka kepada saya." Lalu Rasulullah SAW menyerahkan urusan Khansa ini sepenuhnya pada dirinya.
Pendapat ini juga didukung dari riwayat Syamsul A'immahas-Sarakhasyi di kitabnya, al-Mabsuth. Dalam kitabnya, Syamsul A'immahas-Sarakhasyi menyebut ada sebuah hadis dari Khansa binti Khadzdzam yang berbunyi, Khansa berkata, "Sesungguhnya bapak saya memaksa saya untuk menikah dengan keponakannya," Rasulullah SAW berkata, ''Laksanakan saja apa yang diinginkan bapakmu.'' Khansa kembali berkata, "Saya tidak suka dengan hal tersebut."
Kemudian Rasulullah menjawab, "(Kalau begitu) pergilah dan nikahlah kamu dengan orang yang kamu sukai." Khansa pun berkata, "Saya tidak menolak apa yang diinginkan oleh bapak saya, tapi saya ingin agar orang-orang tahu, bapak tidak boleh ikut campur dengan anaknya dalam masalah ini.'' Dari riwayat ini dapat terlihat, Khansa tidak langsung bercerai. Khansa sempat tinggal selama beberapa waktu dengan suami pertamanya itu.
Riwayat Khansa ini menjadi salah satu dasar bagi sejumlah ulama dalam mengeluarkan pendapat terkait kebebasan seorang perempuan, baik janda maupun perawan, dalam memilih calon suaminya. Termasuk tidak diperbolehkannya perkawinan yang didasari paksaan dari wali atau orang tua perempuan tersebut.
Imam asy-Syafi'i dalam kitab al-Umm menyatakan, ''Wanita mana pun, baik janda maupun gadis, yang dinikahkan tanpa seizinnya maka nikahnya batal, kecuali ayah terhadap anak gadisnya dan tuan terhadap sahayanya. Karena Nabi Muhammad SAW menolak pernikahan Khansa binti Khadzdzam ketika ayahnya menikahkannya dalam keadaan terpaksa.
Beliau tidak mengatakan, 'Kecuali bila engkau hendak berbakti kepada ayahmu, lalu engkau membolehkannya menikahkanmu.' Seandainya beliau membolehkannya untuk menikahkannya, itu berarti serupa memerintahkannya supaya membolehkan ayahnya menikahkannya dan tidak menolak pemaksaan terhadapnya."