Rabu 25 Jan 2017 21:08 WIB

Cerita Imam Shamsi Ali Soal Rabi Yahudi Pembenci Islam yang Berubah Pikiran

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Teguh Firmansyah
Shamsi Ali
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Shamsi Ali

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Masjid Al Hikmah New York Shamsi Ali menceritakan bagaimana pertemuannya dengan seorang rabi Yahudi di sebuah acara televisi di AS.  Keduanya bersalaman, tapi rabi tersebut menghidari bertatap muka dengan Shamsi.

Beberapa bulan kemudian, kata Shamsi, rabi tersebut mengajaknya bicara. Saat pertemuan, rabi itu mengaku benci pada Muslim. Tapi mendengar penjelasan Shamsi di televisi dan berbagai kesempatan, rabi tersebut berubah pandangan.

Mereka jadi terbuka untuk bicara banyak hal, termasuk klarifikasi soal jihad dan konsep keterpilihan dalam ajaran Yahudi. "Dari sana kami berpikir, apa yang bisa dilakukan bersama. Muncullh konferensi imam dan rabi. Awalnya pertemuan sangat kaku, tapi akhirnya bisa melunak," kata Shamsi dalam diskusi Kehidupan Beragama di AS di @merica, Rabu (25/1).

Menurut Shamsi, untuk menghilangkan dugaan dan kecurigaan satu agama dengan yang lain, perlu dibiasakan dialog. Namun, dialog yang digelar jangan hanya sebatas konferensi tapi juga program bersama yang melibatkan para pemeluk agama.

Dialog agama ini diperlukan tidak hanya dari sisi sosial, karena mayoritas dan minoritas. Tapi dunia memang menghendaki demikian.  Kehidupan global sekarang sudah demikian dekat. Kelompok manusia punya inter-dependensi, tidak ada yang bisa berdiri sendiri dan harus kerja sama.

Dialog antar umat beragama ini penting agar ada kesepahaman. "Perbedaan akidah tidak membuat kita terpecah belah tapi bisa bersama-sama membangun dunia,'' kata Shamsi.

Menurutnya, aksi 4 November dan 2 Desember 2016 harus jadi kebanggan umat Islam. Karena dengan massa sebanyak itu, umat Islam bisa menyampaikan aspirasi dengan demokratis dan damai.

Aksi ini, kata ia, bukan kebencian pada satu kelompok tertentu. Namun momen itu harus dipergunakan oleh pemimpin umat Islam untuk bersama-sama menentramkan keadaan yang sedang terjadi.

"Dialog antaragama ini kemudian juga jangan hanya pada level pemimpin agama, tapi dibawa ke level akar rumput. Makanya masyarakat harus dilibatkan," ungkap Shamsi.

Dialog antar agama itu bukan bicara agama, tapi tanggung jawab nilai agama. Misalnya umat Islam dan Kristiani bersama-sama melakukan sebuah program sosial untuk masyarakat. Jadi dialog itu tidak hanya di gedung, tapi juga di masyarakat sehingga ini jadi hal yang biasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement