REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peter Golden, penulis buku Central Asia in World History (2011), memaparkan peran Asia Tengah dalam kemajuan peradaban Islam.
Hal itu terutama bermula sejak abad kesembilan Masehi dengan sejumlah kota utama yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Samanid (819-999). Mereka adalah Transoxiana, Khurasan, Nishapur, Bukhara dan Samarkand.
Dua yang tersebut akhir itu sempat menjadi pusat pemerintahan Samanid berturut-turut. Di masa puncak kejayaannya, kerajaan ini mencakup wilayah sebagian Iran dan Afghanistan modern hingga pesisir pantai Laut Arab serta di utara sampai sebagian Asia Tengah.
Di Asia Tengah itulah kebudayaan Persia menjadi wahana kebangkitan peradaban Islam. Bedanya dengan pra-Islam, bahasa Persia mengadopsi aksara Arab, bukan lagi aksara Aramaic.
Selain itu, banyak pula kata-kata serapan dari bahasa Arab yang dipakai dalam bahasa Persia. D alam periode Kerajaan Samanid, kebudayaan, seni, arsitektur, dan sastra Persia terangkat namun tetap memuat nilai-nilai Islam sebagai jantung spiritualnya. Inilah masa kecambah periode keemasan Islam, yang menurut sejumlah pakar merentang dari abad kedelapan hingga abad ke-13 masehi. Rintisan kecambah ini dapat dikatakan bermula dari era Kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.
Khususnya, berkat kecakapan Khalifah Harun al-Rasyid (786-809) yang mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad sebagai pusat penerjemahan karya-karya Yunani Klasik yang berhasil diselamatkan kaum Muslimin dari kepunahan. Sang Khalifah berhasil menjadikan ibukotanya sebagai mercusuar peradaban dunia, kota kosmopolitan tempat para cendekia berkumpul dari hampir seluruh penjuru bumi, itu tepat ketika Eropa masih tenggelam dalam Abad Kegelapan.
Kembali ke ihwal Asia Tengah. Dalam era kontemporer, kawasan ini mencakup negara-negara stan pecahan Uni Soviet pada 1991. Secara historis, menurut Atiq Sarwari dalam tesisnya untuk The American University, Expression of Islamic Identity and the Myth of Religious Fundamentalism in Central Asia (1997), istilah Asia Tengah baru mulai dipakai sejak abad ke-19 lantaran pengaruh ekspansif Inggris Raya.
Tepatnya 1830, kartografer Assowsmith dalam sebuah karyanya menamakan wilayah yang membentang antara Sungai Indus dan Laut Kaspia sebagai Asia Tengah. Padahal, aslinya istilah Tatar lebih diterima khususnya hingga abad ke-17. Sebutan Turkestan (harfiah: Tanah bangsa Turks) sendiri merujuk pada kawasan ini sejak abad ketiga masehi.
Meskipun Islam dibawa oleh kaum Persia, orang-orang Turkic di Asia Tengah umumnya mengikuti tradisi Suni. Saat itu, di bumi Persia sendiri masih cukup tegang perbedaan antara golongan Syiah dan Suni. Yang pertama itu bersikeras bahwa yang berhak mewarisi kepemimpinan Islam sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah ahlul bait, terutama keturunan Ali bin Abi Thalib. Sementara, kaum Suni lebih longgar, yakni tidak membatasi sosok pengganti pemimpin politik Muslim sepeninggalan Rasulullah SAW pada golongan tertentu.
Di Asia Tengah, kemajuan perkembangan ilmu terus terjadi di tengah masyarakat yang heterogen. Meskipun sebagian besar sudah memeluk Islam, di kawasan tersebu masih terdapat kaum shaman, pemeluk Zoroaster (Majusi), atau Buddha. Bahkan, Peter Golden menengarai, institusi madrasah mengadopsi sistem pendidikan ala biksu Buddha yang cukup marak beberapa abad sebelumnya di Anak Benua India, tetangga selatan Asia Tengah.
Inilah buah dari perkembangan pemikiran yang melampaui kotak-kotak kepercayaan, ras, atau sekte. Tidak sedikit sejarawan yang memuji Abad Keemasan Islam lantaran berkat para ilmuwan Muslim-lah, karakteristik sains dibebaskan dari asumsi-asumis pengkotakan demikian.
Sistem desimal, misalnya, dan penggunaan angka nol tidak lagi eksklusif hanya bagi bangsa penemunya, yakni India. (Beberapa sumber menyebutkan Babylonia.) Angka-angka 1-10 yang sampai hari ini masih dipakai merupakan bentuk adopsi para ilmuwan Islam dari aksara yang telah dikembangkan di India.
Islam berhasil mengangkat sisi universalitas sains, sehingga fakta keilmuan bisa dikembangkan di manapun, bebas dari pengaruh politik atau kekuasaan. Apalagi, dalam masa keemasan ini, cendekiawan Islam biasa menjalani hijrah dari satu kota ke kota lain demi mengajarkan ilmunya atau mencari ilmu.