Jumat 20 Jan 2017 08:12 WIB

Mr Roem, Soekarno, Pembubaran Masyumi: Negara Islam itu Ada?

Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.
Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.

Oleh: Lukman Hakiem

Mohammad Roem, (lahir di Temanggung16 Mei 1908, wafat di Jakarta 24 September 1983), anak keenam dari pasangan Dulkarnen Djojosasmito dan Siti Tarbijah. Ia adalah menteri luar negeri di zaman perjuangan pasca Indonesia merdeka. Perjanjian antara Belanda Ri yang dikenal perjanjian Roem-Roijen adalah salah satu karyanya.

Roem menempuh pendidikannya di  Sekolah Rakyat (Volksschool), HIS (Hollandsch Inlandsche School), pada 1924 masuk STOVIA (School ter Opleiding voor Indiesche Arts –Sekolah untuk mendidik dokter pribumi) di Jakarta. Pada 1927, setelah selesai pendidikan di bagian persiapan STOVIA; Roem melanjutkan ke AMS (Algemene Middelbare Scool). Lulus AMS pada 1930, Roem masuk Sekolah Tinggi Kedokteran GHS (Geneeskundige Hoge School) di Jakarta. Karena dua kali ujian, gagal, Roem berhenti belajar di GHS, dan beristirahat selama dua tahun. Pada 1932, Roem masuk  RHS (Recht Hooge School), dan meraih gelar Mester in the Rechten, (Mr)

          Di awal kemerdekaan, Roem bersama para aktivis pergerakan Islam, bersepakat untuk mendirikan partai politik Islam. Usaha-usaha untuk mendirikan partai politik Islam telah lebih dulu dikerjakan jauh sebelum ada Maklumat Wakil Presiden No. X, 5 November 1945. Tidak mengherankan jika hanya berselang dua hari sesudah keluar Maklumat X, Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta, 7-8 November 1945/1-2 Dzulhijjah 1364, mengumukan berdirinya Partai Politik Islam Masyumi.

Di Partai Masyumi, yang dipimpin oleh Hadratus Syaikh K.H.M. Hasjim Asj’ari (Ketua Umum Majelis Syuro), dan Dr. Soekiman Wirjosandjojo (Ketua Pengurus Besar), Roem tercatat sebagai anggota. Sampai Masyumi dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno pada pertengahan 1960, Roem tetap bergiat di Masyumi. Bahkan, Ketua Umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito (1910-1970) mengajukan gugatan terhadap Presiden Soekarno dan meminta Pengadilan untuk membatalkan Keputusan Presiden No. 200/1960 dan Penetapan Presiden No. 7/1959[7], Roem ditunjuk menjadi pengacara Masyumi.

 

Seiring dengan bubarnya Masyumi, kiprah Roem di pemerintahan pun berakhir. Bahkan di penghujung rezim Soekarno, mulai 16 Januari 1962 sampai 17 Mei 1966, tanpa alasan yang jelas, Roem dijebloskan  ke penjara. Ikut ditahan, sejumlah pemimpin politik yang bersikap kritis terhadap Presiden Soekarno, seperti Sutan Sjahrir, Prawoto Mangkusasmito, M. Yunan Nasution, Soebadio Sastrosatomo, Mochtar Lubis, HAMKA, M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, kasman Singodimedjo, E.Z. Muttaqin, Imron Rosjadi, dan Anak Agung Gede Agung.

Kemerdekaan yang diperjuangkan Roem dengan jiwa, tenaga, dan pikiran; ternyata  tidak dengan serta merta memberikan kenyamanan dan keadilan kepada Roem dan kawan-kawan, sebagaimana yang dikehendaki ketika kemerdekaan itu diperjuangkan. Kemerdekaan, pada suatu ketika, karena berbagai sebab, dapat juga menghasilkan sebuah tragedi! Roem adalah bagian dari tragedi di dalam alam kemerdekaan!

Mengawali kariernya sebagai diplomat, Roem bukan tidak gamang. Ia tidak yakin terhadap kemampuan dirinya di bidang itu, karena belum pernah punya pengalaman di suatu forum internasional, dan umur pun masih di bawah 40 tahun. Seperti diceritakan Mohammad Natsir (1908-1993), “Dan waktu Saudara Roem diminta (Wakil Presiden --pen) Bung Hatta untuk menjadi anggota delegasi, kami  semua berkumpul di tempat Pak Haji Agus Salim. Pak Salim berkata: ‘Itu bukan suatu problem’ Terima Roem’.”

Keraguan Roem, boleh jadi juga disebabkan oleh sikap Masyumi yang menolak segala bentuk perundingan dengan Belanda.

Sejak memegang tampuk kepemimpinan pemerintahan sebagai Perdana Menteri, Sutan Sjahrir (1909-1966) telah memperlihatkan kecenderungan untuk berunding dengan Belanda. Kecenderungan itu agaknya didasari oleh kenyataan bahwa pemerintah Indonesia mempunyai kekuasaan yang secara de facto  ditaati oleh seluruh rakyat, sedangkan Belanda datang ke Indonesia untuk menegakkan kembali kekuasaan de jure-nya. Guna memecahkan masalah yang rumit ini, mau tidak mau Belanda pun datang menemui pemimpinan pemerintahan Indonesia. Dan Sjahrir pun ingin menunjukkan kepada dunia bahwa pemerintahan yang dia pimpin mampu bertindak sebagaimana layaknya sebuah negara-bangsa yang merdeka.

Masyumi menolak kecenderungan Sjahrir untuk berunding. Masyumi menganggap Kabinet Sjahrir tidak melihat “perubahan radikal” dan mentale revolutie (revolusi mental) dari jiwa bangsa kita “yang dahulu bersifat lemah dan tak berdaya, menjadi kuat penuh meluap dengan semangat perjuangan (militant).”

Masyumi yang bersikap oposisi itu, bersama Tan Malaka, dan golongan lain, membentuk Persatuan Perjuangan dengan program utamanya, “berunding atas dasar pengakuan kemerdekaan 100%.”

Itulah situasi saat Roem diminta Hatta memperkuat Kabinet Sjahrir. Roem bercerita: “Saya lalu berkonsultasi dengan Pak Dokter Sukiman, waktu itu sebagai Ketua Umum Partai Masyumi. Pak Kiman tidak setuju kalau saya mewakili Masyumi dalam Kabinet RI, tetapi tidak keberatan ikut serta sebagai perseorangan.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement