Senin 16 Jan 2017 08:40 WIB

Kroni Penguasa, Amanah Kekuasaan, dan Teladan Umar Bin Abdul Azis

Pada era Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah dipilih lewat musyawarah.
Foto:
Dhihya bin Khalifah al-Kalabi adalah utusan Rasulullullah kepada Romawi.

Betul saja. Pada suatu waktu, datanglah utusan gereja. Dia mengadukan soal penggunaan tanah yang diserobot secara sewenang-wenang. Katanya, “Sebelum anda jadi khalifah, tuanku, sebagian tanah kami diserobot dijadikan masjid."

Maka dengan segera UBA panggil pengurus masjid. Perintahnya terang dan tegas: “Jika tak kembali haknya, ku seret engkau ke pengadilan!"

Suatu saat datanglah rombongan warga yang lain. Saat yang muda hendak bicara, UBA persilakan yang lebih tua. “Tuanku, jika usia jadi ukuran. Tentu masih banyak yang lebih layak jadi khalifah ketimbang tuanku”, ujar utusan yang masih muda belia.

Tak lama datanglah seseorang sambil membawa anggur. UBA minta utusan itu menjual anggur. Hasilnya berikan kepada kuda yang terengah-engah dipacu.

UBA mendengar ada pasukan yang dicungkil matanya karena pertahankan akidah. UBA pun menulis surat kepada kaisar Roma. Isinya: “Jika tak kembalikan pasukanku maka akan aku kirim pasukan yang belum pernah ada. Panglimaku sudah sampai kota Rum. Tapi ujung pasukanku masih ada di Madinah.”

Suatu malam UBA mengendap-endap di tenda dagang khafilah. “Daerah yang aku lalui dalam kondisi baik. Rakyat bisa hidup lebih baik. Bahkan dengar kabar domba pun tak lagi disergap serigala,” jawab mereka.

Segera UBA menyelinap keluar sambil cucurkan air mata. Jika betul domba tak lagi diterkam serigala, artinya keadilan mulai tegak. Ini sunatullah, misterinya punya Allah semata.

Esoknya dia panggil asistennya. UBA bertanya: “Bagaimana kondisi umat hari ini yang engkau lihat?”

“Semua baik, kecuali tiga hal. Anak isteri tuanku, kuda tuanku, dan aku pembantu tuanku”, jawabnya. Begitu perhatian terhadap umat, UBA pun tak concern pikirkan keluarga, kuda, dan pekerjanya.

Tak lama memerintah, UBA pun dijelang ajal. Kebijakannya memutus fasilitas Bani Umayah, berakhir racun. Pembantunya yang justru meracuni, diiming-imingi seribu dinar.

“Ambil seribu dinar itu, serahkan ke baitul mal”, pesan UBA kepada pembantunya.

UBA adalah keajaiban, anugerah Allah SWT. Dirinya tegas, adil, dan tak kompromi. Ini tak ditempa dari zuhud. Sebelum jadi khalifah, UBA dilimpahi kemewahan dan kekuasaan. Dari kemegahan itu, UBA justru diantar jadi hamba yang mulia.

Penghasilan sebelumnya 40 ribu dinar per tahun. UBA kenakan pakaian termahal, wewangian terhebat, rumah megah, kuda termahal. Tapi ketika menjadi pemimpin dia ubah semua. Tak ada lagi pemasukan tahunan.

Justru ketika jadi penguasa, sosok UBA berubah total. Hartanya yang melimpah kemudian diserahkan ke baitul mal. Rumah megahnya kini malah terbuat dari tanah. Singgasananya cuma sepotong kayu yang diletakan di atas tanah. Perubahan ini terjadi pada UBA yang menjadi raja diraja, orang terkaya, dan menggemgam kekuasaan tertinggi dalam usia sangat muda, 35 tahun.

Bahkan ketika ada wanita berkulit hitam yang ingin meminta bantuan dan datang ke rumahnya sempat berkata tak percaya bila si tuan rumah adalah pemimpinnya. Katanya, “Mana mungkin saya bisa minta bantuan bangun rumah dari orang yang rumahnya bobrok dan berantakan ini.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement