REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosok notaris satu ini tak asing lagi di kalangan Muslim Tionghoa. Perjalanan hidupnya diwarnai dakwah serta pengabdian di berbagai yayasan dan organisasi yang mewadahi kaum mualaf. Dalam setiap dakwahnya, ia selalu memberikan pemahaman bahwa ajaran musibah adalah sebentuk cinta dari Allah SWT.
Syarif mengaku, kini ia bisa menemukan kebahagiaan karena musibah yang diberikan Allah pada 1970. Saat itu, Syarif masih kuliah semester tiga Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya saat sang ayah, Tan Tjong Tjung (Rahmat Tanudjaya), meninggal dunia.
Ia pun memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliahnya karena masalah biaya. Anak keempat dari enam bersaudara ini lalu memutuskan meneruskan usaha dagang tekstil di kawasan pecinan, Jalan Pintu Kecil, Glodok, Jakarta Barat, milik ayahnya. Ternyata, bisnis yang dijalankan tak semulus dugaannya. Syarif kemudian beralih profesi sebagai supplier alat kantor dan diselingi sebagai kontraktor.
Lagi-lagi, garis hidupnya tak ditakdirkan di jalan ini. Usahanya mengalami kerugian dan tumpukan utang. Di tengah impitan untuk melunasi utangnya, Syarif mengalami kegalauan hati. ''Saat itu, saya masih beragama Kristen. Kemudian, mencoba untuk merenungi nasib saya dalam konsep reinkarnasi agama Buddha,'' katanya.
Namun, ia belum menemukan jawaban atas berbagai cobaan dan musibah yang dialaminya. Suami dari Vera Pangka ini pun mencoba mendiskusikan dengan beberapa rekan bisnisnya yang kebanyakan Muslim. Dari berbagai tukar pikiran tadi, pintu hidayah terbuka baginya.
''Saya bisa menerima penjelasan tentang kedudukan musibah dalam agama Islam karena logis dan masuk akal,'' ujar Syarif. Ia menyimpulkan bahwa musibah yang menderanya adalah hasil perbuatan dirinya sendiri, bukan dosa keturunan. Sedangkan, makna di balik musibah adalah sebagai ujian hidup untuk mencapai derajat manusia yang lebih tinggi di mata Allah.