REPUBLIKIA.CO.ID, JAKARTA -- Lusi terlahir dari orang tua berbeda agama. Ayahnya Muslim dan ibunya Katholik. Namun, ayahnya kemudian memeluk Katholik sejak menikah.
Lusi, anak pertama dari lima bersaudara. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan kehidupan toleransi beragama. Misalnya, ia sering mengikuti arak-arakan malam takbiran.
Menjalani kehidupan beragama, Lusi cukup rajin ke gereja dan dekat dengan romo. Karena ketekunannya, Lusi mencapai tingkat Sakramen Krisma. Gelar ini diberikan gereja kepada mereka yang dewasa tingkat keimananya.
"Untuk mendapat Sakramen Krisma itu tidak sembarangan harus melalui pendidikan, tes, dan sebagainya. Namanya pun sudah tercatat di Katholik sebagai seseorang yang sudah Krisma," kenang Lusi.
Di sisi lain, kehidupan keluarga Lusi berantakan. Lusi tak pernah mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan sesungguhnya. Situasi kian berat ketika ayahnya meninggal.
Ibunya, sejak kecil cenderung tempramen. Tak jarang Lusi dan ibunya kerap bertengkar. "Aku kuliah yang membiayai ibuku tapi aku harus memenuhi kebutuhanku sendiri. Karena itu, aku bekerja sambil kuliah," kata dia.
Hubungan Lusi dan Ibunya pada akhirnya tak berjalan harmonis. Lusi menganggap ibunya terlalu dominan.
"Saya sering menangis dan berdoa kepada Tuhan. Tapi tak menemukan ketenangan batin yang diharapkan. Sebaliknya, merasa tenang ketika melihat Muslim berwudhu," kenang dia.