Selasa 03 Jan 2017 09:58 WIB

Ingin Membuat Keluarga Malu, Cindy Jadi Jatuh Cinta dengan Islam

Rep: mgrol086/ Red: Agus Yulianto
Cindy Pravitri bersama anaknya.
Foto: dok.Istimewa
Cindy Pravitri bersama anaknya.

REPUBLIKA.CO.ID, Pemberontakan dirinya dan berniat untuk membuat malu keluarganya, justru menjadi jalan kebaikan bagi Cindy Pravitri, untuk memeluk agama Islam. Bahkan, setelah dia mempelajari Islam lebih dalam, justru membuatnya semakin jatuh cinta pada Islam.

Cindy terlahir dari keluarga Katolik. Di kalangan masyarakat Lumajang, daerah tempat tinggalnya, keluarga ini sangat terkenal ketaatannya pada agama. Terlahir dari seorang ibu yang sebelumnya Muslim dan berpindah agama setelah menikah dengan seorang suami yang beragama Katolik.

Keluarga yang tadinya hidup dengan harmonis itu, mengalami ujian hingga menyebabkan orang tua Cindy bercerai. Cindy yang saat itu masih SMA merasa sangat terpukul dan berontak, tidak menerima kegagalan keluarganya itu. Di tengah frustasi dan kekecewaanya, ia menemukan ide untuk membuat keluarganya malu dengan cara ia berpindah memeluk agama Islam.

Ini karena, menurut agama yang di anutnya, Islam itu adalah agama yang paling rendah, berbeda dengan agama lain. Terlebih, keluarganya terkenal di Lumajang. Maka, itu (pindah agama) adalah cara ampuh untuk membuat mereka sangat malu.

“Menurut keyakinan yang dulu, Islam kan agama bawaanya Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim punya dua orang istri, yang satu Siti Sarah dan satu Siti Hajar. Siti Hajar kan adalah seorang budak yang dimerdekakan oleh Nabi Ibrahim dan Islam lahir dari keturunannya Siti Hajar yaitu Nabi Ismail dan dari keturunan ini lahirnya Nabi Muhammad SAW. Karena itu, Nasrani menganggap Islam itu agama yang rendah karena lahir dari keturunan budak,” ujarnya.

Cindy menceritakan, mengapa dirinya, saat itu, tidak milih agama lain seperti Budha, atau Hindu. Ini, kata dia, karena nggak akan berdampak apa-apa untuk keluarga karena setara kelasnya. "Ketika aku meluk Islam, keluargaku yang dikenal kuat banget keyakinanya akan merasa malu," ujarnya.

Karena itu, dia meminta temannya untuk mengajarkannya agama Islam, karena rasa dendam dan niatnya untuk memberontak. Akhirnya, dia pun mengucapkan syahadat. Padahal, ketika itu, di hatinya belum mencintai Islam.

Namun, kemudia ada guru yang mengetahui kalau Cindy sudah masuk Islam dan ia diajak bicara tentang keseriusannya masuk Islam. “Aku dipanggil ke kantor guru. Dan guru ku nanya, apakah aku sudah benar-benar mengenal Islam?" katanya.

Guru itu menjelaskan ketauhidan atau ketuhanan dalam Islam itu, berbeda dengan Kristen. Bila di Kristen ada tiga Tuhan, tapi kalau di Islam itu hanya satu yaitu Allah SWT, dan tidak boleh meyakini tuhan lebih dari satu.

Dikatakan guru itu, Yesus yang dituhankan oleh agama Kristen sebenarnya Nabi Isa AS dan bukan anaknya Tuhan kalau di Islam. "Terus guruku jelasin kalau agama yang tidak meyakini Islam itu adalah kafir. Dan kafir itu memang ada dalam Alquran bukan stereotype-nya orang Muslim terhadap pemeluk agama lain. Jujur, aku sangat kaget ketika itu dan sedih karena keluargaku ternyata kafir," ujarnya.

Sempat merasa goyah dan kembali ke gereja, tapi hatinya terus berontak tidak bisa menerima cara beribadah dengan nyanyian dan khutbah pastor yang berbeda dengan keyakinannya. Akhirnya, Cindy menjelaskan kepada ibunya kalau dia sudah memeluk agama Islam.

Mengetahui itu, ibunya menangis-nangis dan membujuknya untuk kembali ke agama Kristen dan ke gereja lagi. Dia pun menuruti ibunya, tapi hatinya tetap saja menolak tidak bisa mengikuti ajaran itu semua. Selama dua tahun, dia vakum tidak memeluk agama apapun, tapi terus mempelajari agama Islam. Itulah yang kemudian membuat hatinya mendapatkan ketenangan yang luar biasa.

“Setelah mempelajari Islam lebih dalam, aku selalu nangis ngeliat matahari dan ciptaan-ciptaan Allah. Aku merasa kaya ada cahaya yang nembus dihati aku. Mungkin ini kedengaranya berlebihan ya, tapi itu yang aku rasa. Aku takjub dengan kekuasaan Allah.”

Ketika kuliah, ia dipertemukan dengan teman-teman yang pemahaman agama Islamnya sangat baik, sampai akhirnya ia belajar agama Islam dengan temannya dan diperkenalkan dengan guru ngaji bernama Ibu Dewi. Dari situlah ia mulai untuk beribadah, baca Alquran dan pemahaman ilmu Islam yang lebih dalam. Hatinya semakin mantap dan semakin jatuh cinta pada Islam.

“Islam itu agama yang logis dan jelas, kalau di Alqitab ada larangan untuk minum khamr dan makan babi, tapi nggak dijelaskan secara rinci dan pemeluk agamanya pun tetap saja banyak yang makan-makanan itu. Beda dengan Islam yang dijelaskan kenapa dilarang dan umat Muslim pun enggak makan-makanan itu kan! Di situlah aku semakin cinta dan yakin dengan Islam," ujarnya.

Setelah beberapa bulan mengaji, ia ditanya oleh gurunya kapan ia akan mengenakan hijab. Tapi, saat itu, Cindy masih belum serius soal hijab, terlebih respons keluarganya yang akan semakin membenci Islam, jika ia menggunakan hijab.

“Wakut itu Bu Dewi minta aku janji pada diri ku sendiri dan pada Allah kapan aku menggunakan hijab, tapi aku jawab sekenanya saja. Aku bilang bulan April,” ujarnya.

Bulan april tiba, ia belum juga menggunakan hijab dan janjinya waktu itu diingatkan oleh Bu Dewi. Ia pun berdalih bahwa belum punya uang untuk beli keperluan hijab. Akhirnya, ia diberikan baju gamis dan kerudung syar’i, tapi belum juga berhijab karena hatinya masih takut dan belum yakin. Seiring berjalannya waktu, ia terkena cacar air dan membuat bekas di tubuhnya sehingga membuatnya malu.

“Aku ditanya sama Bu Dewi kenapa aku nggak ngaji-ngaji? Aku jelasin bahwa aku kena cacar air dan malu untuk ke luar rumah. Bu Dewi ingatin kalau aku bisa pakai baju panjang dan hijab darinya. Di situ juga aku berpikir, apa ini ya teguran dari Allah karena aku sudah janji mau berhijab waktu itu. Ya sudah, setelah itu aku pakai hijab sampai saat ini,” tuturnya.

Mengetahui dirinya berhijab panjang, keluarga besarnya semakin membencinya. Pernah suatu ketika budenya tidak mau satu mobil dengannya sehingga membuatnya sedih, tapi ia terus lapang dada. Penolakan dari keluarganya pun sangat membuatnya sedih, ia pernah bertengkar hebat dengan ibunya sampai-sampai membuatnya menangis.

Cindy pun memilih datang ke rumah tetangganya yang juga berhijab syar’i. Di situ ia dinasihati oleh tetangganya bahwa respons keluarganya itu bukan membencinya. Itu adalah tanda sayang mereka karena Cindy sudah keluar dari keimanan mereka yang mereka anggap sesat.

Terlebih dengan pakaian Cindy yang sudah syar’i, jadi wajar saja kalau keluarganya marah. Mendengar nasihat itu, Cindy pun kembali ke rumah dan menerima apapun sikap keluarganya dengan ikhlas. Lambat laun ayahnya menikah lagi dengan seorang Muslim dan ikut memeluk agama Muslim. Cindy senang dan bersemangat mengajak ibu dan adik-adiknya untuk memluk agama Islam.

“Sering aku berdoa biar keluarga dapat hidayah. Sering juga aku ajak mama untuk kembali masuk Islam, tapi mama malah semakin benci Islam sampai aku ada di titik menyerah, nggak mau ngajakin mama masuk Islam lagi,” kenangnya.

Cindy pun menikah dan dikaruniai seorang suami yang sangat baik dan membimbingnya untuk semakin menjadi Muslimah yang baik dan benar. Walau demikian, hubungan ia dengan keluarganya tetap terjalin dengan baik. Beberapa tahun kemudian, ibunya cerita pernah bermimpi bertemu dengan seorang ustaz yang tidak dikenal untuk mengajaknya kembali ke ajaran Islam dan menjelaskan Islam itu agama yang benar dan akan menyelamatkannya. Dengan pertimbangan yang matang akhirnya ibunya kembali memeluk agama Islam dan setahun kemudian meninggal .

Satu persatu keluarganya yang dulu membenci karena keislamannya pun berpindah memeluk agama Islam, mulai dari adiknya, sepupunya sampai bude-budenya. Ia sangat bersyukur pada Allah yang sayang padanya dan memberikan kenikmatan hidayah yang luar biasa melebihi apapun.

Menurutnya Islam adalah cahaya yang membuat hati sangat tenang. Ia juga berpesan untuk para mualaf agar terus mempelajari Islam dan harus istiqomah karena apapun ujian yang Allah berikan itu adalah yang terbaik untuk menguji keimanan kita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement