Oleh: DR Iswandi Syahputra*
------------
Kalau mencermati Aksi 212, ada yang berubah dari tipologi umat Islam saat ini. Seharusnya para haters Islam, haters FPI atau haters ulama, kiai, ustaz dan habib tidak lagi menggunakan stigma Islam fundamental atau Islam radikal atau Islam dengan konotasi negatif lainnya.
Berbagai kategori itu sekarang sudah meleleh semua. Coba cermati, ada banyak perubahan strategi FPI saat ini. “Kiai, ustaz, dan habib lain silakan tanam padi, biar FPI yang usir tikusnya”. Pernyataan itu branding sekaligus positioning FPI. Ini warna lain dari corak Islam yang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.
Selain tetap berpegang teguh pada prinsip ‘Amar Ma’ruf Nahi Munkar’ dengan mengambil karakter Sahabat Umar bin Khattab Ra, FPI sekarang mulai pula ‘bertingkah’ pada setiap bencana dengan cepat menurunkan relawannya. Lantas masih mau nyinyir? Nggak malu jadi fans NATO (No Action Talk Only)? Banyak omong, aksi kosong…
Memang, boleh saja dibilang radikal atau fundamental, FPI menjadi salah satu tiang utama dan garda depan Aksi Bela Islam I, II dan III yang dikenal dengan Aksi 212. Mohon maaf, harus diakui pula, belum tentu ormas lain dapat melakukan hal serupa. Entah siapa konsultannya, FPI saat ini mengalami semacam modernisasi dalam praktik dan strateginya.
Sehingga akan sangat ketinggalan zaman dan mengada-ada bila FPI saat ini disebut sebagai Islam radikal, Islam fundamental atau Islam garis keras. Jikapun tudingan itu ‘benar’, saat ini FPI tengah menuai hasilnya.
FPI memang kerumunan Muslim radikal, Muslim fundamental atau Muslim garis keras dalam melawan komunisme, pihak asing yang berniat jahat pada Indonesia atau isu titipan asing seperti LGBT, dll. Rupanya sikap radikal, fundamental dan keras terhadap isu tersebut merupakan harapan tersembunyi banyak orang Indonesia.
Saat ini FPI tengah menyerap dengan nikmat segala macam tuduhan yang pernah dialamatkan padanya. Umat Islam juga mulai sadar, sikap fundamental, radikal, dan keras FPI terhadap akidah dibutuhkan saat keyakinan mereka mulai dikoyak-koyak keadaan.
Jadi, perlu ditimbang ulang memberi stigma Islam fundamental atau Islam garis keras. Mungkin perlu dipertimbangkan istilah lain yang sekiranya dapat disetujui pihak pendonor saat mengajukan proposal penawaran gagasan. Islam garis lurus, Islam garis tegak, Islam monas atau Islam 212?
Maka kini terserahlah, yang penting jangan lupa bahagia. Apa pun itu Islam cuma satu, ya Islam…!
*Iswandi Syahputra, Pengamat Media Massa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta