Selasa 27 Dec 2016 11:32 WIB

Muslimah Indonesia: Keluarga Pilar Ketahanan Negara

Ketua pelaksana Muslimah Indonesia Tuti Alawiyah (kedua kiri) (Ilustrasi).
Ketua pelaksana Muslimah Indonesia Tuti Alawiyah (kedua kiri) (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kelompok Muslimah Indonesia antar negara yang tergabung dalam "Mutiara Umat" mengadakan kajian online "Keluarga sebagai pilar ketahanan keluarga", menghadirkan tiga pembicara dari tiga negara berbeda. Ketiga pembicara Nurul Lestari dari Keluarga Muslim Hannover Jerman, Ninda Ekaristi Ketua Rumah Muslimah Indonesia-Korea Selatan, dan Marina Noorbayanti Ketua Mutiara Ummat Pengasuh program Tahsin Alquran Komunitas Indonesia di Thailand.

"Topik kajian terkait pembangunan keluarga diangkat terkait laporan dari Pengadilan Agama, Mahkamah Agung yang menyebutkan angka perceraian pasangan suami istri di Indonesia semakin meningkat," kata dosen IPDN dan mahasiswi riset Ilmu politik Universitas Essex, UK, Hasna Azmi Fadhilah, Selasa.

Data yang dirilis pada November tahun ini menyebutkan sudah ada 315 ribu kasus perceraian yang diterima pengadilan agama di seluruh Indonesia dengan tiga provinsi di pulau Jawa. Ketiga provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat sebagai penyumbang kasus perceraian tertinggi.

Menilik fakta tersebut, dapat dibayangkan bahwa semakin banyak pula anak-anak yang harus menghadapi gejolak hubungan orangtuanya. Tidak hanya rentan mengalami tekanan mental, anak korban perceraian pun rentan mengalami masalah pergaulan dan dikhawatirkan memiliki kecenderungan tinggi untuk kemudian terperangkap bahaya narkoba, geng motor, dan sebagainya.

Dengan demikian, bila tidak ada upaya untuk mengatasi masalah ini, bukan hanya keutuhan keluarga dan Komunitas saja yang terancam, namun juga ketahanan negara di masa depan karena generasi muda-lah yang akan mengisi tampuk pimpinan dan bila kaum penerusnya memiliki fondasi lemah, tentu ketahanan negara juga ikut terancam.

Di tengah minimnya partisipasi pemerintah dalam mengatasi masalah ini, Nurul Lestari menyarankan, sebaiknya persiapan menjadi istri dan ibu rumah tangga harus dilakukan sedini mungkin, semenjak kuliah misalnya. Karena bila dilihat dari kasus yang ada, banyak wanita yang menggugat cerai tidak siap dengan berbagai masalah rumah tangga yang ada, dari tuntutan ekonomi hingga komunikasi yang kurang efektif.

"Walaupun ekonomi tinggi, juga tidak menjamin keharmonisan keluarga, seperti banyak kasus perceraian di negara maju. Tapi setidaknya calon pasangan suami istri harus mengetahui hak dan kewajiban saat berumahtangga sebelum memutuskan untuk menikah," katanya.

Tidak hanya berpikiran bahwa berumahtangga hanya akan mengalami yang manis, namun ketika berada dalam satu biduk, keduanya terkejut dan terkesan tidak siap dalam menghadapi berbagai tanggungjawab yang ada.

Penguatan pondasi keluarga ini, dibutuhkan ketika arus globalisasi menyebabkan mudahnya budaya yang negatif mempengaruhi pemikiran generasi muda, terutama yang tinggal di negara dengan sistem liberal. Penerapan sistem ini juga mempersulit tugas orangtua dalam mendidik anak sesuai anjuran agama. Kasus yang sering terjadi orangtua bersusah payah membatasi pengaruh negatif budaya barat, namun ketika mereka di luar rumah, kondisi lingkungan tidak mendukung sama sekali.

Hal ini yang seharusnya memacu seluruh orangtua untuk ikut belajar memahami budaya yang ada agar dapat memberikan pemahaman terbaik, selain itu perlunya penekanan tidak semua tren harus diikuti. Sebab dari pengamatan Ninda di Korea Selatan, tuntutan tren anak muda di Korea Selatan menyebabkan generasi mudanya rawan stres dan memiliki kecenderungan tinggi untuk melakukan bunuh diri.

Berbagai permasalahan inilah yang kemudian harus disikapi orangtua untuk lebih bijak karena faktor utama ketahanan negara, yakni penegakan hukum dan sistem pendidikan di Indonesia yang belum berjalan baik perlu disikapi dengan solusi terdekat, yakni melalui keluarga.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement