Sabtu 24 Dec 2016 15:01 WIB

Gunakan Atribut Agama Lain, Bolehkah?

Pekerja mengenakan pakaian atribut natal pada salah satu Hotel di Jakarta, Senin (15/12)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Pekerja mengenakan pakaian atribut natal pada salah satu Hotel di Jakarta, Senin (15/12)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tanggal 25 Desember menjadi hari istimewa bagi saudara kita umat Nasrani. Dalam keyakinan mereka, Yesus Kristus yang dikenal dalam Islam sebagai Nabi Isa Almasih dilahirkan pada hari itu. Kemeriahan Natal terasa di pusat perbelanjaan, perkantoran, dan di jalan-jalan.

Kebahagiaan ini terasa layaknya umat Islam yang sedang berbahagia pada Hari Raya Idul Fitri, Ramadhan dan Idul Adha.Toleransi pun kerap diperlihatkan umat Islam ketika Natal tiba. Halaman Masjid Istiqlal kerap digunakan bagi jemaat Gereja Katedral untuk memarkir kendaraannya.

Di berbagai daerah, banyak Muslim yang menjaga gereja agar jemaat bisa aman dalam menjalankan ibadahnya. Menghormati umat lain menjalankan ibadahnya merupakan bagian dari ajaran Rasulullah. Dalam Sejarah Hidup Muhammad yang ditulis Muhammad Husain Haikal diceritakan betapa Rasulullah SAW sangat menghargai tokoh-tokoh agama dari kalangan Yahudi.

Penduduk Madinah yang menyambut Rasulullah dibalas pula dengan kunjungan silaturahim ke tokoh-tokoh mereka, termasuk Yahudi. "Ia bicara dengan kepala-kepala mereka, didekatkannya pembesar-pembesar mereka, dibentuknya dengan mereka itu suatu tali persahabatan, dengan pertimbangan bahwa mereka juga ahli kitab dan kaum monoteis.

"Hanya, umat beragama lain hendaknya mengerti bahwa Islam merupakan ajaran yang kafah (menyeluruh). Makanan, pakaian hingga pimpinan bukan sekadar gaya hidup, tetapi bagian dari akidah. Menjadi masalah jika seorang Muslim mengonsumsi makanan mengandung babi dan alkohol.

Begitu juga saat Muslim merayakan hari besar agama lain. Sebenarnya, masalah ini terjadi pada lima tahun belakangan ketika karyawan Muslim yang tidak mengimani Natal didandani ala sinterklas, sebuah sosok yang diambil dari Saint Nicolas, seorang santa yang menjadi simbol fathers of christmast. Dengan dalil diwajibkan sang majikan, Muslim itu pun manut.

Sambil mengingat besarnya risiko jika menolak perintah perusahaan. Toleransi juga menjadi alasan penggunaan atribut tersebut. Atas nama penghormatan dan penghargaan kepada perayaan Natal, sebagian Muslim bangga berswafoto dengan atribut Natal. Sebagian lainnya memaklumi karena penyematan atribut itu hanya urusan bisnis, bukan agama. 

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya mengeluarkan fatwa Nomor 56 Tahun 2016. Isinya tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim. Di dalam pertimbangannya, komisi fatwa MUI menyematkan beberapa ayat Alquran seperti "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): Raa´ina, tetapi katakanlah: Unzhurna, dan 'dengarlah'. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih." (QS al-Baqarah: 104).

Di dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat ini merupakan larangan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menyerupai diri dengan orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatan. Ra'ina merupakan ucapan orang-orang Yahudi untuk menyindir Nabi SAW. Meski mereka hendak meminta perhatian dari Rasulullah SAW dengan "Sudilah kiranya Anda memerhatikan kami". Namun, dengan menyebutkan kata ra'ina, mereka menyindir dengan kata yang mengandung makna kebodohan.

Allah SWT juga mengungkapkan hal yang sama dalam QS an-Nisa: 46. Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, "Kami mendengar, tetapi tidak mau menurutinya." Dan (mereka mengatakan pula), "Dengarlah, semoga kamu tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan), Ra'ina, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama."Begitu juga wasiat Rasulullah SAW lewat hadis-hadis yang mulia.

Dari Amru bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: "Bukan dari golongan kami orang yang menyerupai selain kami, maka janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani, karena sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari jemari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya." (HR at-Tirmidzi).

Di dalam riwayat lain yang ditukil dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: "Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka." (HR Abu Dawud).Karena itu, MUI memutuskan bahwa menggunakan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram.

Tak hanya itu, mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram. MUI juga memberi rekomendasi agar umat Islam tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain. 

Kaum Muslimin juga diminta untuk saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-Muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.Umat Islam diimbau memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan non-Muslim.

Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan  tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-Muslim kepada karyawan Muslim.

Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syariat agamanya secara murni dan benar, serta menjaga toleransi beragama.

MUI juga menjelaskan pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan Muslim untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama, seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-Muslim kepada umat Islam. Wallahu a'lam. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement