REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan terjemahan Al Quran bahasa daerah dapat membantu pelestarian bahasa daerah sebagai unsur penting budaya yang cenderung mengalami kepunahan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2013 mengindikasikan kemungkinan kepunahan bahasa daerah.
Dari 746 bahasa daerah yang teridentifikasi, sebagaian besar mengalami kepunahan dengan indikasi antara lain penurunan jumlah penutur, ketiadaan transmisi ke generasi penerus dan ketiadaan upaya pelestarian.
"Penerjemahan Alquran oleh Kemenag merupakan upaya strategis bagi penghindaran kepunahan bahasa daerah yang menjadi kekayaan budaya. Ketika sebuah bahasa daerah dipergunakan untuk menerjemahkan Alquran, maka pemilik Alquran terjemahan tersebut secara kultural dan doktrinal akan menjaga sebaik mungkin karena nilai kesucian yang melekat pada Alquran," kata Lukman.
Kementerian Agama baru saja meluncurkan tiga buku terjemahan Alquran bahasa daerah. Bahasa daerah itu adalah bahasa Batak Angkola, Toraja, dan Mongondow. Terjemahan Alquran bahasa daerah disusun oleh tim daerah setempat dengan yang melibatkan ulama, akademisi, pakar bahasa dan pakar budaya daerah.
Lukman menjelaskan bahwa terjemahan Alquran bukanlah Alquran itu sendiri. Terjemahan Alquran merupakan sebatas upaya optimal untuk menangkap sepenuhnya esensi dari apa yang ada dalam Alquran itu sendiri. Menag mengingatkan bahwa terjemahan Alquran tetaplah terbuka untuk dikritisi, karena di masa yang akan datang terbuka peluang tentang cara pandang lain.
"Revisi terjemahan adalah sesuatu yang niscaya. Yang direvisi bukan Alquran-nya, tetapi yang coba dikontekstualisasikan adalah terjemahannya seiring dinamika perkembangan masyarakat," kata dia.
Sejauh ini Badan Litbang dan Diklat Kemenag telah menerbitkan terjemahan Alquran dalam sembilan bahasa daerah dengan bertambah tiga bahasa daerah lagi. Yaitu bahasa Sasak, Makassar, Kaili, Jawa Banyumasan, Minang, Dayak Kanayatn, Batak angkola, Toraja, dan Mongondow.