REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Sebuah pesantren istimewa berdiri di Desa Meliling, Kabupaten Tabanan, Bali. Disebut istimewa karena Pondok Pesantren (Ponpes) Bali Bina Insani (BBI), nama pesantren itu, mempraktikkan hal-hal yang mungkin tak diterapkan di ponpes lainnya.
Berada di tengah permukiman Hindu, Ponpes BBI memiliki interaksi yang sangat harmonis dengan lingkungan dan masyarakat sekitar yang beragama Hindu. Hubungan yang harmonis itu antara lain ditunjukkan lewat sikap toleran ponpes dengan melibatkan sejumlah guru beragama Hindu.
"Mungkin ini satu-satunya ponpes di Indonesia yang menjadikan umat non-Muslim sebagai tenaga pengajar," kata Ketua Yayasan La Royba, yayasan yang menaungi Ponpes BBI, H Ketut Imaduddin Jamal saat menerima kunjungan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno LP Marsudi bersama delegasi Bali Democratic Forum (BDF) IX di Ponpes BBI, Tabanan, Jumat (9/12). Ponpes ini memang menjadi salah satu model toleransi di Bali yang disurvei BDF.
Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Osamah bin Mohammed al Shuaibi yang menjadi salah satu anggota delegasi BDF, sempat bertanya kepada Imaduddin tentang arti Bali Bina Insani.
Menjawab pertanyaan itu, Imaduddin menjelaskan, bina berarti pendidikan atau pembinaan, sedangkan insani berarti manusia. "Jadi, ini lembaga pendidikan untuk seluruh masyarakat di Bali," ujar Imaduddin yang juga Ketua Pengadilan Agama Denpasar.
Lebih lanjut Imaduddin menjelaskan, ponpes yang dipimpinnya telah mempraktikkan toleransi antarumat beragama bahkan ketika negara asing masih berbicara toleransi hanya sebagai ide dan cita-cita.
"Toleransi beragama di pesantren ini adalah fakta. Ada 16 guru beragama Hindu di sini, yang mayoritas muridnya beragama Islam. Di Madrasah Aliyah 50 persen Hindu, sedangkan 50 persen itu Islam," ujar Imaduddin.
Imaduddin mengatakan, pesantren ini tidak mengedepankan perbedaan, tetapi mengedepankan persamaan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Hal itu dapat dilihat pada kegiatan penggemukan sapi milik ponpes yang dikelola umat Hindu.
Di hadapan peserta BDF, Imaduddin juga mengungkapkan, Ponpes Bali Bina Insani terbuka untuk semua umat, termasuk melibatkan guru-guru non-Muslim sebagai tenaga pengajar.
Salah seorang guru ponpes ini, Made Suardini, yang beragama Hindu, mengatakan, kendati ia dan sejumlah guru lainnya bukan pemeluk agama Islam, tidak ada diskriminasi dari pihak ponpes terhadap mereka.
Dalam hal pengembangan karier, misalnya, mereka tetap memperoleh kesempatan yang sama. "Makanya kami betah di sini, bahkan sudah mengajar belasan tahun lamanya," tutur Made Suardini.
Tak sekadar berbincang dan melihat-lihat, pada kesempatan itu Osamah atas nama Pemerintah Arab Saudi juga menyampaikan komitmen bantuan dana senilai 50 ribu dolar AS untuk Ponpes BBI. ''Ini untuk mendukung kegiatan pendidikan di ma'had ini,'' ujarnya menjelaskan.
Pada kunjungan tersebut, Menlu beserta delegasi BDF dihibur dengan tarian tadisional Bunga Sandat Tabanan, hadrah, dan gamelan yang diperagakan oleh santriwan dan santriwati Pesantren Bali Bina Insani (BBI).
"Pada hari kedua BDF IX, kami mengajak para peserta berkunjung ke pondok pesantren ini untuk memperlihatkan bagaimana kebersamaan dan toleransi itu berjalan di masyarakat," ujar Menlu.
Ponpes BBI telah membuktikan adanya toleransi itu. Di tengah kehidupan masyarakat Hindu di Tabanan, kata Menlu, ada satu pondok pesantren yang hidup nyaman dan dapat berinteraksi tanpa gangguan apa pun dengan masyarakat di sekitarnya.
Sebagian gurunya juga berasal dari latar belakang agama yang berbeda. "Jadi, ini betul-betul satu contoh bagaimana perbedaan ini dirayakan serta menjadi modal untuk membangun,'' ungkap menlu menjelaskan.