REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Adu argumen di media sosial (medsos) disebut wajar. Namun, perdebatan akan menjadi masalah begitu sudah masuk ke dalam perilaku membicarakan keburukan orang.
Apalagi, menyebar konten negatif dengan tujuan untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Medsos pun penuh dengan pertempuran antara buzzer yang tidak jarang membingungkan publik di dunia maya.
Meski demikian, masih banyak netizen yang memilih menggunakan medsos untuk menyebarkan pesan positif. Salah satunya, platform berbasis filantropi Kitabisa.com. Di tengah pertempuran para buzzer, justru banyak pesan sosial yang disebar di media sosial untuk mengajak netizen berbuat kebaikan. Hingga awal November 2016, setidaknya sudah ada 2.601 campaign yang terdanai dan Rp 46 miliar donasi berhasil terkumpul melalui laman ini.
CEO Kitabisa.com, M al-Fatih Timur, menilai, medsos bersifat netral dan hanya merupakan alat. Menurut dia, apa yang ditunjukkan atau yang ditampilkan di medsos sepenuhnya menjadi pilihan pengguna medsos tersebut. Sayangnya, para netizen atau pengguna medsos di Indonesia banyak yang memilih untuk diam. Dia menjelaskan, para orang baik ini menjadi silent majority.
"Sementara yang minority itu berisik, sayangnya minority-nya negatif. Yang negatifnya berisik, sementara yang baiknya itu pendiam. Jadi, terkesan medsos ini dipenuhi kebencian. Padahal, ini sepenuhnya masalah pilihan dari pengguna, karena medsos itu sebagai alat bersifat netral," kata Timmy, panggilan akrabnya, kepada Republika, Rabu (23/8).
Timmy pun memberikan saran agar medsos dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan positif dan menampilkan konten-konten positif. Pengguna medsos, kata dia, dapat mengikuti atau mem-follow akun-akun atau konten-konten positif. Hal ini tidak terlepas dari sistem algoritma yang ada di dalam medsos itu sendiri.
Timmy pun memberi contoh, di Facebook, algoritma yang berlaku adalah ketika kita menyukai atau me-like suatu posting maka Facebook akan mendatangkan posting yang tendesinya sama seperti posting yang kita like sebelumnya. Jadi. saat kita satu kali me-like suatu yang negatif, seperti kebencian terhadap suatu sosok, maka related post yang ditawarkan Facebook akan seperti itu juga.
Hal ini, kata dia, membuat kita seperti terpenjara dalam wacana yang kita like sebelumnya dan membuat pikiran kita menjadi tidak terbuka terhadap wacana-wacana baru. Padahal, kata dia, sikap pemilik akun mungkin berbeda dengan wacana awal itu. "Selain itu, saran saya, proporsional dalam mem-follow orang di medsos dan bersikap bijak dalam penggunaannya," ujarnya.