REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Ilmu Komunikasi, Sinansari Ecip menilai, saat ini medsos lebih sering dimanfaatkan untuk hal-hal negatif, termasuk yang terjadi di negara-negara maju. Media sosial cenderung digunakan untuk kampanye negatif dan menjatuhkan salah satu tokoh. Termasuk dengan adanya berita bohong atau fitnah terhadap salah satu pihak.
Untuk mengantisipasinya, Sinansari menyarankan adanya aturan dan regulasi yang ditetapkan pemerintah. ''Undang praktisi, akademisi, Dewan Pers, Pemerintah, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dan kepolisian untuk membuat aturan bersama. Bahkan, jika perlu, supaya cepat diberlakukan bisa melalui Perpu,'' ujar Sinansari kepada Republika.
Selain itu, mantan wartawan Republika ini menjelaskan, sanksi hukum terhadap pelanggaran tersebut dapat berupa denda. Pihak kepolisian pun harus dengan ketat melakukan kontrol dan menunjukkan hasilnya. Kebebasan berbicara, menurut mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) itu, masih memiliki batasan, yaitu tidak merugikan pihak lain. Batas-batas inilah yang harus bisa dipahami bersama.
Perlu adanya regulasi atau aturan ini juga diungkapkan oleh Sosiolog Universitas Islam Nasional (UIN) Jakarta, Bambang Pranowo. Menurut dia, memang ada aturan yang memgatur soal ujaran di media sosial. Namun, Bambang menyebut, komunikasi dan interaksi lewat medsos serta teknologi ini memang relatif baru. ''Sehingga, kita juga belum siap dengan etika bagaimana caranya berinteraksi dan berkomunikasi melalui medsos,'' ujar Bambang.
Guru Besar Sosiologi Agama UIN itu menambahkan, saat ini memang perlu ada kedewasaan dari masyarakat untuk bisa menggunakan teknologi. Diharapkan kedewasaan ini secara berangsur-angsur dapat terbangun, selain dibantu dengan adanya peraturan yang mengikat. ''Tapi, aturan itu harus dipahami bersama, baik dari sisi masyarakat maupun dari pemerintah. Kemudian ada pendapat perlu tidaknya peraturan itu ditinjau, itu soal yang berbeda,'' ujarnya.
Bambang menambahkan, etika yang dipegang oleh tiap-tiap individu itu dapat menjadi kunci berkurangnya fenomena pertengkaran di medsos yang berujung pada terputusnya tali silaturahim. Dia menyesalkan, terputusnya tali silaturahim hanya karena ada sedikit perbedaan pendapat. Padahal, dalam agama Islam Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah berujar, perhatikan apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan.
''Di tataran ilmiah kan juga seperti itu. Orang boleh menentang suatu pendapat dengan mengeluarkan argumen tertentu, asal tidak menyerang pribadinya. Kita ini memang kadang-kadang belum bisa membedakan antara pendapat dan siapa yang berpendapat,'' ujar dia.