REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suhu sosial politik di Tanah Air saat ini kian memanas. Sejak lontaran pernyataan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama yang berujung kasus penistaan agama hingga sekarang masuk fase penyidikan, suhu itu belum juga reda.
Panasnya pertarungan antara dua kubu besar pendukung Ahok dan pihak yang merasa dirugikan Ahok kian terasa saat memasuki media sosial. Facebook, Twitter, Instagram hingga aplikasi berbasis chatting seperti Whatsapp (WA) dan Blackberry Messenger seolah menjadi pertempuran kata-kata. Terlebih, pada masa pemilihan kepala daerah seperti sekarang.
Padahal, boleh jadi dalam dunia nyata kedua pihak yang bertikai merupakan sahabat, bahkan kerabat. Dampak perbedaan pandangan sampai-sampai menyebabkan salah satu pihak memutuskan untuk unfriend ataupun unfollow pihak lain, yang dianggap berseberangan.
Pakar teknologi informasi dan media sosial, Nukman Luthfie menilai, perang kata-kata atau pertengkaran di medsos menjadi kelaziman. Terlebih, jika memasuki fase pemilihan pemimpin baru. Seiring dengan itu, suhu di medsos pun kian memanas. Hal ini ditandai dengan pertentangan dan pertengkaran.
''Kecenderungannya memang seperti itu. (pertengkaran di Medsos meningkat saat memasuki pertengkaran politik). Itu terjadi juga di luar negeri, misal Amerika Serikat. Pada saat Trump dan Clinton bertarung di Pemilihan Presiden Amerika Serikat, banyak terjadi unfriend di Facebook, dan medsos lainnya,'' ujar Nukman saat berbincang dengan Republika beberapa waktu lalu.
Nukman melanjutkan, sebenarnya sah-sah saja beradu argumen di media sosial dan memiliki pandangan yang berbeda dengan orang lain. Namun, CEO Jualio.com itu menegaskan, masih ada rambu-rambu yang tidak bisa dilanggar. Nilai-nilai atau etika yang bersifat universal dan sudah ada di kehidupan sehari-hari, harusnya juga diterapkan di media sosial. Nilai-nilai tersebut termasuk tidak menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), menyebarkan unsur pornografi, unsur kekerasan, bully dan fitnah.
Jika hal ini sudah dilanggar, maka orang tersebut sudah bisa dilaporkan ke pihak berwenang dan diproses dengan Undang-Undang yang berlaku. ''Tidak apa-apa berargumen, tapi yang penting tidak sampai SARA, pornografi, kekerasan, bully. Yang tidak boleh itu, jangan dilanggar. Karena kalau sudah masuk ke situ, sudah layak dilaporkan ke pihak yang berwenang, fitnah juga masuk ke ranah itu,'' kata Nukman.
Dia mengakui, para penyedia layanan media sosial seperti Facebook dan Twitter, memang telah menyediakan fasilitas jika nantinya ada para pengguna yang merasa terganggu dengan postingan atau ungkapan ide dari orang lain. Fasilitas itu termasuk unfriend, unfollow, ataupun block. Para pengguna media sosial dapat menggunakan segenap fasilitas itu untuk menyingkirkan kawan dari lini masanya.
Lebih lanjut, Nukman mengungkapkan, biasanya orang yang menggunakan fasilitas tersebut, atau memilih unfriend dari laman Facebook-nya adalah orang yang tidak pernah dia temui di kehidupan sehari-hari. Kemudian, dia bersitegang soal satu hal, lantas akhirnya memilih untuk unfriend. Kondisi ini tentu berbeda jika teman yang benar-benar dia kenal.
''Nah, kalau ribut-ribut sama orang yang tidak kita kenal, ya ngapain, unfriend saja. Itu yang rata-rata di-unfriend. Tapi kalau teman beneran kan tidak langsung unfriend, ya sebaiknya dikasih tahu dulu dan biasanya mereka santai-santai saja,'' kata Nukman.