Jumat 18 Nov 2016 10:26 WIB

Kisah Nelson Mandela Mirip Tokoh Muslim Nusantara, Bukan Ahok

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Damanhuri Zuhri
  Nelson Mandela mengenakan batik saat diabadikan di  pada tahun 2005.  (EPA/STR)
Nelson Mandela mengenakan batik saat diabadikan di pada tahun 2005. (EPA/STR)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam sebuah kesempatan menyatakan persepsi yang cukup kontroversial.

Ahok menilai, dirinya yang kini berstatus tersangka penistaan agama dapat disamakan dengan Nelson Mandela, peraih Nobel Perdamaian asal Republik Afrika Selatan.

Bagaimanapun, bila menilik sejarah Afrika Selatan dan Indonesia, kesamaan antara Nelson Mandela dan orang Indonesia mungkin saja ada. Hanya saja, sosok yang dimaksud bukanlah Ahok, melainkan pejuang yang gigih melawan kolonialisme Belanda silam.

Mengutip catatan perjalanan Taufiq Ismail, “Ziarah Makam di Afrika Selatan” (termuat di buku Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit, 2008), ternyata cukup banyak kesamaan antara Indonesia dan Afrika Selatan.

Sama seperti Indonesia, Afrika Selatan merupakan negara yang beraneka ras dan agama. Keduanya pun pernah dipecah-belah oleh kolonialisme Belanda. Orang Indonesia yang angkat senjata terhadap Belanda mulai dibuang ke Afrika Selatan.

Tahun 1667 merupakan awal gelombang pertama kedatangan tahanan asal Indonesia. Perjalanan kapal layar dari Batavia (Jakarta saat itu) ke Afrika Selatan menempuh waktu empat bulan lamanya, dengan jarak lebih dari 10 ribu kilometer. Sepanjang perjalanan, mereka dibelenggu rantai besi.

Gelombang pertama terdiri atas tiga orang tahanan. Informasi ini bersumber dari guratan pada makam mereka di Islam Hill, kawasan Constantia, Afrika Selatan: “Pada 24 Januari 1667, kapal Polsbroek meninggalkan Batavia dan sampai di sini pada 13 Mei dengan tiga tahanan politik yang dirantai.

Mereka adalah orang-orang Melayu dari Sumatera Barat, yang dibuang ke Cape sampai datang perintah untuk pembebasan mereka.” “Dua orang dibuang ke hutan VOC, dan seorang dibuang ke Robben Island,” demikian seperti dikutip dari tulisan Taufiq Ismail tersebut.

Lantaran itu, patut dicatat bahwa Belanda telah menjadikan Pulau Robben sebagai sarana penghukuman sejak abad ke-17. Dengan demikian, Nelson Mandela merupakan sosok pejuang yang kesekian. Seperti diketahui, ia menjalani hukuman di Pulau Robben selama 1963-1990.

“Robben Island adalah pulau penjara yang seram tempat disekap dan disiksanya tahanan-tahanan politik selama dari 300 tahun. Salah seorang tahanan terkenal yang lama mendekam di Pulau Robben adalah Nelson Mandela, yang kini (tahun 1993 –Red) adalah calon terkuat untuk memegang jabatan presiden Afrika Selatan selepas pemilihan umum 1994 yang akan datang,” tulis Taufiq Ismail kemudian.

Berbilang abad sebelumnya, orang Indonesia itulah yang menjalani pembuangan di Pulau Robben. Sayang, namanya tidak diperinci. Buku karya sejarawan KM Jeffreys, Tomb at Constantia, Cape Naturalist (Juli, 1936) juga tak menjelaskan lebih lanjut bagaimana tiga tahanan asal Indonesia itu meninggal dunia.

Patut dicatat pula, pada gelombang berikutnya Belanda membuang ulama kharismatik asal Sulawesi Selatan ke Afrika Selatan. Dialah Syekh Maulana Yusuf atau Syekh Yusuf al-Makassari. Oleh masyarakat Indonesia, beliau digelari Tuan Guru lantaran perannya yang besar sebagai pendakwah Islam.

“Tuan Yusuf mendarat (di Afrika Selatan –Red) dengan kapal ‘De Voetboeg’ 2 April 1694 pada usia 68 tahun, diiringi 49 orang, yaitu istri, putra-putri dan anak buahnya dalam pertempuran melawan Belanda di Banten,” catat Taufiq Ismail.

Kehadiran orang-orang Islam asal Nusantara itu, menyebarkan pengaruh. Bahkan, Islam menjadi inspirasi bagi para pejuang Republik Afrika Selatan, termasuk Nelson Mandela.

“Selama lebih dari 27 tahun, Tuan Guru sempat menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang Afrika Selatan. Berkat perjuangannya ini, banyak orang Afrika Selatan termasuk tokohnya seperti Nelson Mandela sangat mengagumi kedua tokoh dan pejuang Muslim Indonesia ini, serta sekitar 20 orang lain yang dibuang ke sana (Afrika Selatan –Red),” tulis Taufiq Ismail (2008, hlm.423).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement