REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan aksi damai yang berlangsung 4 November kemarin jangan dilihat hanya sebagai aspirasi Islam tertentu, apalagi yang dikonotasikan garis keras.
Menurut Haedar Nashir, aksi tersebut merupakan aspirasi seluruh umat Islam yang merasa ayat Alquran dan pembawa misi dakwah didakwa sebagai sarana membohongi dan membodohi.
“Demo itu reaksi atas sebuah aksi, bukan sebaliknya. Bersyukur Presiden mengeluarkan pernyataan resmi untuk mengusut kasus penistaan agama itu dengan cepat, tegas, dan transparan,” ujar Haedar saat dihubungi Republika, Sabtu (5/11).
Ke depan ia berharap pemerintah dalam hal-hal yang sangat krusial mampu menghargai keberadaan dan aspirasi umat Islam sebagaimana mestinya. Karena ini, menyangkut umat mayoritas yang berjasa besar kepada bangsa dan negara ini.
Jika perorangan atau kelompok-kelompok kecil saja dilayani, semestinya golongan terbesar juga lebih dihargai lagi keberadaannya di Republik ini. Umat Islam sangat akomodatif dan moderat, dan jika menyangkut bela negara paling berada di depan. Untuk itu, jangan hanya demi satu atau dua orang kemudian umat mayoritas terabaikan.
Menurut Haedar, aksi tersebut tidak ada kaitannya dengan Islam radikal, Islam moderat, dan Islam lainnya. Namun, aksi tersebut merupakan aspirasi mayoritas umat yang memiliki kesadaran akidah yang merasa tercedarai.
Ia juga berharap dengan adanya kasus ini, organisasi-organisasi dan semua elemen umat Islam dapat mengambil pelajaran berharga tentang pentingnya perluasan dakwah yang mencerahkan dan menebar damai, toleransi, dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil'alamin secara autentik. Islam dan umat Islam harus menjadi penawar problem bangsa, termasuk dalam merawat kemajemukan dan keadaban bangsa.
"Jika masih ada stereotipe atau pandangan tentang Islam yang keras dan mengeras tidak ada salahnya bermuhasabah agar umat mayoritas ini benar-benar menjadi uswah hasanah dalam berbagai aspek kehidupan," katanya.