REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa sebelum turun ayat waris, pernah istri Saad bin ar-Rabi bersama dua orang anak perempuannya datang kepada Nabi SAW, sambil bertanya, “Ya Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Saad bin ar-Rabi yang mati syahid pada Perang Uhud bersamamu. Paman mereka merampas semua harta mereka tanpa memberi bagian sedikitpun kepada anak-anak perempuan itu. Adapun untuk kawin, kedua anak itu perlu uang.”
(Baca: Sistem Waris Zaman Jahiliyah)
Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Mudah-mudahan Allah segera memberi penyelesaian mengenai masalah itu.” Kemudian turun ayat waris, yaitu surat an-Nisaa` [4]: 11.
(Baca: Sistem Waris Awal Permulaan Islam).
Sesudah itu turun pula ayat-ayat kewarisan lebih lanjut secara terperinci mengenai pembagian kepada para ahli waris dalam segala kondisinya, seperti kedua orang tua, suami, istri, saudara-saudara sekandung dan saudara-saudara seayah (QS An-Nisaa` [4]: 12 dan 176).
Dengan turunnya ayat waris, maka dapat dipahami bahwa dalam pewarisan Islam yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa, melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan Islam tidak dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).