Memang sudah lama Islamophobia tertancap di benak bangsa Indonesia. Situasi ini berkelindan dengan berbagai macam soal yang terkait dengan soal politik kekuasaan. Antipati terhadap ulama pun sudah berlangsung lama. Sejak era awal Kerajaan Mataram ini pun sudah terjadi.
Berbeda sikap dengan Sultan Agung, anaknya Sunan Amangkurat I yang kemudian menggantikannya bersikap antipati terhadap ulama. Penolakan tak mau mendukung Amangkurat naik tahta ini protes atas sikapnya yang buruk serta kerap melakukan tindakan yang tidak terpuji, seperti terlibat dalam kasus pembunuhan serta berebut perempuan dengan putranya sendiri.
Catatan Belanda mengkisahkan betapa Amangkurat I ini kemudian berang dan memutuskan membunuh para ulama yang menentangnya beserta santrinya dan keluarganya. Maka, di suatu pagi ketika matahari baru naik sepenggalah, di Alunan-alun kerajaannya terjadilah pembantaian massal terhadap ulama dan umat Islam. Catatan pejabat VOC Rijklof van Goens, menyatakan antara 5.000 dan 6.000 orang pria, wanita, dan anak-anak tewas dalam peristiwa itu. Tak cukup dengan itu, pesantren di wilayah Giri dan yang berada di sepanjang pinggirian alur sungai Bengawan Solo juga ikut diperintahkan dibakar.
Islamopobhia itu makin kokoh tertancap dalam benak rakyat (Jawa,red) ketika berakhirnya Perang Diponogoro. Seiring dengan kokohnya kekuasaan Kolonial Belanda di Indonesia, pemerintah kolonial kemudian benar-benar menjadikan para Raja Mataram itu hanya sebagai boneka dengan membuat status raja sekedar sekedar lambang budaya belaka.
Kekuasaan spolitik dan pemerintahan sebenarnya ada di tangan patih kerajaan yang itu diangkat atas restu gubernur jendral Hindia Belanda. Kekuatan militer kerajaan Mataram dipreteli hanya sebagai alat upacara saja. Pengaruh ulama yang sebelumnya lekat di kerajaan disingkirkan. Para pangeran secara halus tak lagi diizinkan menikah dengan anak ulama (trauma dengan sosok Pangeran Diponegoro). Para bangsawan hanya dibatasi hanya boleh menikah antabangsawan saja. Kebiasaan para anak raja (bangsawan) yang belajar di pesantren pun dihilangkan.
Setelah itu Islamofobia makin menjadi. Namun perlawanan terhadap kekuasaan terus terjadi. Ulama dan pesantren terus melawan yang kemudian ini disebut mendiang sejarawan Sartono Kartodirdjo sebagai perlawanan rakyat. Dan situasi anti-Islam (Islamopobia) makin terstruktur dengan hadirnya Snouck Hurgronye dan kian eksis di masa Gubernur Jendral Alexander Willem Frederik Idenburg (berkuasa di Hindia Belanda pada 1909-1916). Kedua orang ini memimpikan di masa depan Hindia Belanda akan menjadi negara 'Uni Belanda' dengan cara 'mengkonversi' agama penduduknya yang beragama Islam.
''Kita sudah berkuasa di tanah ini selama 350 tahun, dan kita akan berkuasa di tanah ini 350 tahun lagi,'' begitu kata Idenburg pada sebuah perhelatan hari ulang tahun Ratu Belanda. Namun ini tak terbukti, sebab 35 tahun kemudian Hindia Belanda lepas dari cengkeraman Belanda dan menjadi negara baru bernama 'Indonesia'.
Ironisnya, meski penjajah Belanda sudah angkat kaki dari bumi pertiwi ini, datangnya kemerdekaan ternyata tak menghapus adanya sikap phobia tersebut. Umat dan ajaran Islam tetap kerap dituding sebagai biang keladai dari segala macam kerusuhan, aksi kekerasan, hingga aneka sikap permusuhan lainnya. Situasi ini terekam dalam sidang ( saat itu disebut rapat sesar) Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dan para tokoh Islam yang menjadi angota sidang BPUPKI seperti Ki Bagus Hadikusumo, Haji Agus Salim, dan KH Wachid Hasyim menyadari betul adanya situasi tersebut. Meski ada gencetan luar biasa agar peran Islam tak usah ikut dalam pengaturan kenegaraan, secara garis besar para tokoh besar ini tetap mampu dengan canggih mengemukakan bila ajaran dan umat Islam harus dijamin dalam kehidupan bangsa Indonesia yang merdeka.
Berikut sikap Ki Bagus ketika dengan cerdas membantah soal segala sikap tudingan pejoratif terhadap ajaran dan umat Islam sebagai biang perpecahan yang sudah berlangsung ratusan tahun dan makin eksis semenjak datangnya zaman penjajahan Belanda.
Tuan-tuan yang terhormat !
Tuan-tuan telah maklum apabila ada seseorang yang hendak membentangkan dan mengetengahkan soal agama atau meninjau suatu perkara dari segi agama, rupanya ia sangat takut dan berhati-hati sekali karena kuatir kalau-kalau pembicaraan itu menimbulkan perselisihan dan perpecahan.
Padahal sebenarnya bukan hanya perkara agama saja yang dapat menimbulkan perselisihan dan perpecahan apabila diperbincangkan dengan tidak berdasar kejujuran, kesucian dan keikhlasan. Perkara apakah bentuk negara kita ini republik atau monarki, serikat, atau kesatuan, itu pun dapat menimbulkan perpecahan dan perselisihan yang amat hebat dan dahsyat.
Bila pembicaraan tidak berdasar kesucian, keikhlasan, dan kejujuran; tetapi berdasar keinginan menang sendiri, mau mendapat nama sendiri dan mau enak sendiri; atau berdasar kekuatiran tidak akan mendapat kursi atau pangkat, sudah pasti akan timbul perpecahan dan perbantahan yang lebih dahsyat dan berbahaya. Atau karena memang karena kita telah kena pengaruh politik memecahbelah gemar berselisih suka bercekcok seperti di kala zaman penjajahan Belanda.
Sampai saat ini bekas-bekas politik penjajahan itu masih ada, kentara sekali dalam jiwa kita bersama. Itulah sesungguhnya yang menjadi sebab timbulnya percekcokan perpecahan dan lain-lain hal yang jahat, bukan disebabkan oleh agama yang baik dan suci itu.
(Pidato Ki Bagoes Hadi Koesoemo, buku Risalah sidang Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia, Gedung Tyuuoo Sangi-In tanggal 31 Mei 1945, penerbit Sekretariat Negara 1995, Jakarta)