Rabu 19 Oct 2016 05:01 WIB

MUI Bubar, Negara Terancam Anarki!

Ketum MUI Ma'ruf Amin memberikan keterangan kepada wartawan seusai menggelar konferensi pers tentang penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta, Jakarta, 13/10).
Foto:
Fachry Ali

R: Bagaimana sikap anda mengenai munculnya tuntutan pembubaran MUI?

F: Dalam soal ini maka tolong ingat pada pengalaman buruk yang pernah dialami orang Aceh. Pada saat zaman Orde Baru, kala itu oleh pihak penguasa sebagian besar ulama di Aceh dimasukkan ke dalam Golkar. Dan sebagai akibatnya, sosok ulama pun mengalami delegitimasi di mata rakyat.

Nah, ketika kemudian kondisi Aceh memasuki masa krisis keamanan akibat munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maka ketika pemerintah hendak menyelesaikan konflik, mereka  sudah tak memiliki kemampuan lagi. Ulama sebagai pengikat umat Islam sudah tak ada memerankan dirinya seperti dulu lagi karena perannya sebagai sarana pengikat soliditas sosial sudah dihilangkan. Alhasil, konflik Aceh semakin lama bertambah akut dan berlarut-larut. Aceh pun mengalami situasi anarkhi yang akut.

Maka berdasarkan pengalaman tersebut, mau tidak mau peran serta posisi otoritas spiritual harus tetap dijaga dengan baik. Dan ini menjadi sangat berbahaya bila pusat otoritas keagamaan itu dihilangkan. Nah, bila ini sampai benar-benar terjadi, maka pada saat yang sama tidak akan ada lagi sumber otoritas yang didengar oleh rakyat. Situasi sosial dan keamanan negara dipastikan menjadi terganggu dan berbahaya.

Selain itu, di era demokrasi semacam ini, di mana sosok negara tak lagi dianggap sebagai sesuatu yang agung dan dalam waktu yang bersamaan rotasi kekuasaan berlangsung dengan cepat dan berubah-ubah, maka keadaan  yang muncul pun tak bisa lagi bersifat permanen. Publik pun kerapkali terombang-ambing.

Akibatnya, di dalam situasi seperti itu --yakni ketika otoritas keagamaan juga dihilangkan— maka yang  akan terjadi hanyalah situasi anarkhi. Di sinilah saya melihat adanya tuntutan pembubaran MUI adalah tindakan sangat berbahaya dan dilakukan oleh mereka yang tak paham dengan pengalaman mengelola masalah sosial-keamanan yang selama ini terjadi di wilaya konflik. Cukuplah Aceh jadi pelajaran bagi kita semua.

——————

Fachry Ali, lahir 23 November 1954 di Susoh, Aceh Barat Daya. Dia adalah salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (Lspeu Indonesia). Menjadi direktur lembaga ini sejak 1997 hingga 2012. Kini, Fachry Ali menjabat komisaris PT Lspeu Indonesia.

Fachry Memperoleh gelar sarjana muda dari Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (kini Universitas Islam Negeri) pada 1977. Fachry pada 1982 melanjutkan studi di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, pada perguruan tinggi yang sama.

Pada 1991-1994, dia melanjutkan studi dalam Southeast Asian History, Department of History, Monash University, Melbourne, Australia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement