Rabu 05 Oct 2016 08:46 WIB

Nikah Siri Menurut Pandangan Hukum Islam

Nikah Siri
Nikah Siri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dudung Abdul Rohman *)

Belakangan ini, persoalan sikah siri mencuat kembali. Seiring dengan munculnya blog online penyedia jasa pernikahan secara siri yang menghebohkan. Kontan saja, hal ini, mengundang protes dan tanggapan yang beragam di kalangan masyarakat. Sehingga, nikah siri ini menjadi kontroversi. Maka bagaimana kajiannya menurut pandangan hukum Islam?

Dalam kajian hukum Islam, masalah nikah ditempatkan dalam ranah hukum muamalah. Ini menunjukkan, bahwa nikah lebih berdimensi sosial kemasyarakatan. Karena itu kesempurnaan nikah bukan semata-mata terpenuhi syarat dan rukunnya saja. Namun, erat kaitannya juga dengan standar kepatutan dan kepantasan menurut etika dan norma yang berlaku.

    

Oleh karena itu, dapat dipahami apabila nikah siri menjadi kontroversi. Memang secara syarat dan rukun nikah sudah terpenuhi. Misalnya dihadiri oleh kedua calon penganten, disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki, ada maskawin dan ijab qabul, serta dinikahkan langsung oleh wali mempelai perempuan. Namun apakah nikah siri seperti itu sudah memenuhi standar kepantasan dan kepatutan menurut etika dan norma yang berlaku di masyarakat? Inilah masalahnya, dan ini pula yang menjadi pokok pangkal nikah siri menjadi penuh kontroversi.

    

Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sangat menekankan etika atau akhlak. Bahkan, di antara tujuan utama diutusnya Rasul adalah untuk menyempurnakan akhlak. Sehingga dalam urusan akhlak, Beliau menjadi rujukan dan panutan yang harus diteladani dalam segala aspek kehidupan.  Keluhuran dan kemuliaan akhlaklah yang menjadi rahasia keberhasilan dakwah Rasulullah saw sehingga dapat merubah masyarakat Arab yang tadinya biadab menjadi beradab.

    

Namun dalam realitas kehidupan umat Islam, sepertinya akhlak ini agak dikesampingkan. Kehidupan umat Islam lebih didominasi oleh pemahaman dan pengamalan fiqh yang terkadang cendrung hitam-putih. Padahal, kalau kita cermati esensi kitab suci Alquran, ternyata proporsi akhlak lebih besar daripada ibadah ritual. Bahkan pelaksanaan ibadah ritual itu harus berdampak pada kesalehan sosial. Misalnya pelaksanaan ibadah shalat harus mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar.

Begitu pula ibadah zakat, harus mampu membangkitkan sikap kepedulian sosial dan mengikis sifat keangkuhan serta kekikiran yang ada pada dirinya. Ketika Alquran merinci sifat-sifat mulia orang mukmin yang akan mewarisi surga Firdaus, dari 7 sifat yang dikemukakan hanya 2 sifat yang diidentifikasi sebagai ibadah ritual, yaitu shalat dan zakat. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surat Al-Mu’minuun [23] ayat 1-11, sifat-sifat orang Mukmin yang akan mewarisi surga itu adalah: (1) melaksanakan shalat dengan khusyu’; (2) menjauhi perbuatan yang tiada berguna; (3) menunaikan zakat; (4) menjaga kemaluan; (5) memelihara amanat; (6) memelihara janji-janji; dan (7) memelihara shalat.

    

Mengacu pada ayat di atas, bahwa di antara sifat orang Mukmin yang memiliki akhlak mulia adalah menjaga kemaluannya dengan menyalurkan syahwatnya kepada isteri yang sah melalui pintu pernikahan. Maka dalam Islam, nikah bukan semata-mata ‘dukhul’ atau hubungan intim, atau ‘menghalalkan yang haram’, tetapi lebih dari itu nikah merupakan prosesi sakral yang memiliki ikatan yang sangat kuat.

Kalau istilah Alquran bahwa nikah itu ‘mitsaqan ghalidza’, ikatan yang sangat kuat. Karena, nikah itu bukan semata-mata menyatukan dua insan, tetapi menyatukan juga keluarga dan marga. Nikah juga bertujuan membina rumah tangga yang harmonis dan sejahtera yang melahirkan keturunan dan generasi. Pertanggungjawaban nikah ini bukan hanya di dunia, tetapi sampai juga ke akhirat.

Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk menjaga diri dan keluarga dari ancaman api neraka. Allah SWT berfirman: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim [66]:6).

    

Dengan demikian, kita tidak boleh main-main dengan nikah. Karena akan berakibat fatal terhadap kelangsungan keluarga dan masa depan generasi. Keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian akan meninggalkan luka yang mendalam terutama pada pihak perempuan dan anak keturunan. Maka sebelum terlanjur dan memakan korban lebih banyak, perlu ada tindakan pencegahan terhadap upaya-upaya desakralisasi pernikahan, misalnya nikah siri.

    

Mengapa peristiwa nikah siri perlu dicegah?  Karena dilihat dari sisi namanya saja sudah mencurigakan. ‘Siri’ itu artinya rahasia, sembunyi atau diam-diam. Mengapa nikah harus dilaksanakan secara diam-diam, ada apa gerangan? Jelas nikah siri ini bertentangan dengan sunnah Nabi SAW. Karena menurut keterangan beberapa hadis, bahwa Rasulullah SAW memerintahkan supaya pernikahan itu diumumkan dengan mengundang orang-orang lalu disajikan hidangan dan diadakan hiburan kalau memungkinkan. Maka dikenal istilah ‘walimatun nikah’, jamuan pernikahan. Ini bukan perbuatan riya tetapi untuk menepis kecurigaan dan mempertegas kesakralan pernikahan.

Dalam suatu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dijelaskan, bahwa Rasulullah SAW melihat bekas kuning pada (leher) Abdurrahman bin ‘Auf. Ketika ditanyakan ia menjawab, “Ya Rasulullah SAW, saya baru menikahi seorang perempuan dengan maskawin setimbang satu biji dari emas”. Maka Beliau bersabda, “Semoga Allah berkahi kamu, buatlah walimah (jamuan) walaupun dengan seekor kambing”.

    

Oleh karena itu, Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam kitabnya Minhajul Muslim menjelaskan, selain ada yang namanya syarat dan rukun nikah, juga yang tak kalah pentingnya adalah etika dan sunnah nikah yang sama-sama harus dipenuhi, di antaranya yaitu: Khutbah nikah dengan ungkapan rasa syukur kepada Allah dan washiat takwa dengan mengutip sekurangnya 3 ayat yang memerintahkan supaya bertakwa kepada Allah SWT Misalnya yang terdapat dalam surat Al-Ahzab [33] ayat 70-71: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”.  Karena takwa ini merupakan bekal utama perjalanan, tak kecuali perjalanan rumah tangga untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan.

Walimah, yaitu makanan yang dihidangkan pada waktu merayakan pernikahan. Orang yang diundang untuk hadir pada walimah ini wajib hadir. Ini berdasarkan sabda Nabi saw, “Barangsiapa yang diundang untuk menghadiri walimah pernikahan atau yang lainnya, hendaklah dipenuhi” (HR. Muslim). Dimeriahkan dengan memukul rebana yang diiringi lagu yang diizinkan. Nabi saw bersabda, “Sesuatu yang membedakan antara yang halal dengan yang haram adalah rebana dan suara (nyanyian)” (HR. Ashabussunan). Mendoakan pengantin dengan doa, “Semoga Allah melimpahkan berkah kepadamu dan semoga menghimpun kalian berdua dalam kebaikan” (HR. Tirmidzi).

Hikmah dari adanya etika dan sunnah nikah ini adalah untuk lebih memberikan dukungan moral dan sosial tentang pentingnya mengekalkan bangunan rumah tangga. Kalau diibaratkan menanam tanaman, etika dan sunnah nikah itu ibarat pupuk dan siraman air untuk menyuburkan tanaman yang baru ditanam. Sehingga bagi pengantin menjadi modal sosial dan memiliki tanggung jawab moral untuk mempertahankan bangunan rumah tangga sekalipun banyak rintangan dan badai yang menghadang.

Berbeda dengan nikah siri yang terkesan longgar dan kurang dukungan sosial. Sehingga dapat memperlemah posisi daya tawar rumah tangga. Bahkan dalam beberapa kasus pihak perempuan dan anak menjadi pihak yang dirugikan. Misalnya dengan entengnya pihak suami meninggalkan dan mencampakkan anak isterinya. Sementara pihak isteri tidak bisa berbuat banyak karena tidak memiliki bukti yang kuat. Anak pun tidak bisa mengurus akta lahir misalnya karena orangtuanya tidak memiliki surat nikah. Jelas ini membawa dampak tidak maslahat bagi kelangsungan rumah tangga dan anak keturunan ke depan.

Oleh karena itu, dapat dipahami apabila pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, mengusulkan pemidanaan dalam draf RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Tujuannya jelas, untuk memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak dalam kelangsungan rumah tangga. Karena rumah tangga atau keluarga itu merupakan unit terkecil dari bangunan sebuah bangsa. Apabila bangunan keluarga tidak kokoh maka akan berpengaruh besar terhadap keutuhan tatanan sebuah masyarakat dan bangsa ke depan. Islam pun sangat mencemaskan nasib generasi dalam sebuah keluarga apabila lemah dan tidak berkualitas.

Allah SWT berfirman: Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS. An-Nisaa’ [3]:9).

Demikian di antara pandangan dan pertimbangan mengapa nikah siri menjadi kontroversi. Nabi SAW juga berusaha untuk mencegah nikah siri ini jangan sampai terjadi. Karena hal ini tidak sesuai dengan etika dan sunnah nikah serta dikhawatirkan akan menimbulkan kemadharatan terutama bagi pihak perempuan dan anak. Oleh karena itu, kita berharap supaya umara dan ulama dapat mengambil keputusan yang terbaik dan tepat dalam masalah penyelesaian masalah nikah siri ini demi kemaslahatan masyarakat dan bangsa ke depan. Wallahu A’lam Bish-Shawaab.

*) Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Bandung

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement