Senin 05 Sep 2016 14:39 WIB

Ketegasan Ummu Habibah

ilustrasi Ummu Habibah
Foto: Republika/Mardiah
ilustrasi Ummu Habibah

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Mahmud Yunus*)

Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, al-Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, beberapa ulama hadis, ahlu al-Madinah, pengikut madzhab adh-Dhahiri dan sebagian ulama mutakallimin berkata: iman ialah pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan.

Dari Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah RA, aku berkata: wahai Rasulullah SAW ajarkanlah kepadaku dalam (agama) Islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara Islam) sehingga aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain selain engkau, Rasulullah SAW bersabda: “ucapkanlah ‘aku beriman kepada Allah’, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan itu” (HR Muslim).

Camkanlah, Rasulullaah SAW mengajarkan kepada Abu ‘Amrah bahwa ucapan ‘aku beriman kepada Allah’ sudah mencangkup semua perkara Islam. Kemudian Rasulullah SAW menyuruh istiqamah dalam ucapan tersebut. Maknanya: iman tidak sekadar diucapkan melainkan harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Allah berfirman: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS Al-Ankabut [29] : 2 – 3).

Terkait ayat-ayat tersebut Ibnu Hatim menyodorkan sebuah hadis melalui Sya’bi. Sya’bi berkata, ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang tinggal di Makkah setelah berikrar masuk Islam. Kemudian para sahabat Rasulullah SAW berkirim surat kepada mereka dari Madinah, isinya: Islam kalian tidak diterima kalau kalian tidak berhijrah.

Orang-orang Muslim yang (masih) berada di Makkah telah berusaha ke luar untuk berhijrah ke Madinah. Tetapi orang-orang kafir mengejar mereka, sehingga terjadi pertempuran.” Akibat pertempuran tersebut korban antara kedua belah pihak pun berjatuhan. Sebagian orang-orang muslim Makkah gugur dan sebagian lainnya selamat.

Kadar ujian Allah kepada orang-orang beriman tidaklah sama. Sa’ad bin Abi Waqqash bertanya kepada Rasulullah SAW: “Siapakah orang yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab: “Para nabi, lalu yang meniru (menyerupai) mereka, dan yang meniru (menyerupai) mereka. Seseorang diuji menurut kadar agamanya. Kalau agamanya tipis (lemah) dia diuji sesuai dengan itu (ringan) dan bila imannya kokoh dia diuji dengan itu (berat). Seseorang diuji terus-menerus sehingga dia berjalan di muka bumi bersih dari dosa-dosa.” (HR Bukhari).

Ujian yang diberikan Allah kepada Ummu Habibah (istri Rasulullah SAW) lain lagi. Suatu ketika Abu Sufyan (ayahnya yang saat itu belum masuk Islam) menemuinya dalam rangka merenegosiasi Perjanjian Hudaibiyah. Abu Sufyan berharap putrinya bisa menjadi perantara antara dirinya dan Rasulullah.

Namun, ketika Abu Sufyan hendak duduk di atas tikar, sekonyong-konyong Ummu Habibah menarik tikar tersebut dan menyingkirkannya. Maka, Abu Sufyan pun terheran-heran. “Wahai putriku, apakah engkau sayang kepadaku sehingga aku tidak boleh duduk di atas tikar itu? Atau, apakah engkau sayang kepada tikar itu sehingga aku tidak boleh duduk di atasnya?

“Tikar itu kepunyaan Rasulullah SAW, sedangkan engkau orang musyrik dan (orang musyrik itu) najis. Makanya, aku tidak mengizinkanmu duduk di atas tikar Rasulullah”, cetus Ummu Habibah.

Dosen Tidak Tetap STIT Muhammadiyah, Kota Banjar*)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement