Senin 05 Sep 2016 13:23 WIB

Hukum Menafsirkan Mimpi

Rep: Hafidz Muftisany/ Red: Agung Sasongko
Bermimpi/Ilustrasi
Foto: intannurashura.blogspot.com
Bermimpi/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mimpi termasuk dalam perkara gaib. Itulah alasannya kebanyakan para mubaligh melarang untuk mencari takwil mimpi. Di samping langkanya orang yang mengetahui seluk-beluk tafsir mimpi, penafsiran mimpi bisa sangat rentan keliru. Bahkan, orang sekaliber Abu Bakar RA pun tak begitu pas ketika menakwilkan mimpi.

Bagaimanakah sebenarnya fikih dalam menakwilkan mimpi?

Para ulama bersepakat akan kebolehan menceritakan mimpi dan meminta penakwilan darinya. Bahkan, menurut Markaz Al-Fatwa (4473), yang mengingkari mimpi hanyalah kaum mu'tazilah dan orang-orang atheis saja. Namun, dalam menafsirkan mimpi perlu diperhatikan rujukan yang jelas. Misalkan, merujuk pada tafsir mimpi yang ditulis para ulama seperti Ibnu Sirin.

Dalam Islam, mimpi bukan hanya sekadar bunga tidur. Historis mimpi dari nabi-nabi terdahulu bahkan menjadikannya sebagai suatu sumber hukum. Sebagaimana kisah Nabi Ibrahim AS yang hendak menyembelih anak kesayangannya karena meyakini perintah Allah SWT datang melalui mimpinya. (QS as-Shaffaat [37]: 102).

Demikian pula Nabi Yusuf yang dikenal sangat andal menakwilkan mimpi. Risalah kenabiannya ditandai dengan mimpi melihat matahari, bulan, dan bintang yang sujud kepadanya. (QS Yusuf [12]: 4). Setelah itu, Nabi Yusuf banyak menafsirkan mimpi hingga menjadikannya perdana Menteri Mesir saat itu. Demikian dikisahkan Alquran dalam Surat Yusuf.

Setelah syariat Nabi Muhammad SAW, mimpi tidak bisa lagi menjadi hujjah untuk sebuah hukum sebagaimana terjadi pada zaman Nabi Ibrahim AS. Imam Asy-Syathibi menegaskan, "Sesungguhnya mimpi dari selain para Nabi secara syar'i tidak boleh dijadikan landasan untuk menghukumi perkara apa pun, kecuali setelah ditimbang dengan hukum syariat. Apabila diperbolehkan maka bisa diamalkan. Bila tidak diperbolehkan maka wajib ditinggalkan dan berpaling darinya. Faidah dari mimpi tersebut hanyalah memberi kabar gembira atau peringatan; adapun menentukan sebuah hukum dengannya maka tidak boleh sama sekali." Demikian dipaparkannya dalam Al-I'tisham (2/78).

Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allimi juga menambahkan, para ulama telah bersepakat bahwa mimpi tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Jadi mimpi hanyalah sebatas memberi kabar gembira atau peringatan. Di samping itu bisa juga menjadi ibrah (pelajaran) apabila sesuai dengan dalil syar'i yang sahih. Demikian sebagaimana ia tulis dalam  At-Tankiil (2/242).

Nabi SAW sendiri pernah menafsirkan mimpinya maupun mimpi orang lain. Bahkan, Abu Bakar RA pernah menafsirkan mimpi orang lain di hadapan Rasulullah SAW. Ibnu Abbas meriwayatkan, suatu ketika datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW. "Tadi malam aku bermimpi melihat segumpal awan yang meneteskan minyak samin dan madu, lantas kulihat orang banyak memintanya. Ada yang meminta banyak dan ada yang meminta sedikit. Tiba-tiba ada tali yang menghubungkan antara langit dan bumi. Kulihat engkau memegangnya kemudian engkau naik. Kemudian ada orang lain memegangnya dan ia pergunakan untuk naik. Kemudian ada orang yang mengambilnya dan dipergunakannya untuk naik namun tali terputus. Kemudian tali itu tersambung," kisah laki-laki tersebut.

Abu Bakar yang berada di sisi Rasulullah SAW meminta izin untuk menakwilkannya. "Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku untuk tebusanmu, demi Allah, biarkan aku yang menakwilkannya," pinta Abu Bakar. Rasulullah SAW pun menyetujuinya.

"Adapun awan, itulah Islam. Adapun madu dan minyak samin yang menetes, itulah Alquran karena manisnya menetes. Maka, silakan ada yang memperbanyak atau mempersedikit. Adapun tali yang menghubungkan langit dan bumi adalah kebenaran yang engkau pegang teguh sekarang ini yang karenanya Allah meninggikan kedudukanmu. Kemudian ada seseorang sepeninggalmu mengambilnya dan ia pun menjadi tinggi kedudukannya. Ada pula orang lain yang mengambilnya dan terputus, kemudian tali itu tersambung kembali sehingga ia menjadi tinggi kedudukannya karenanya," papar Abu Bakar.

Kemudian, Abu Bakar RA pun meminta pembenaran kepada Rasulullah SAW apakah takwilan mimpinya benar atau tidak. Nabi SAW membenarkan sebahagiannya dan menyalahkan sebahagian yang lain. "Demi Allah ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kepadaku takwil mana yang salah?" pinta Abu Bakar. Nabi SAW mengingatkan, "Janganlah engkau bersumpah," (HR Bukhari).

Hadis sahih ini menjadi dalil bolehnya menceritakan mimpi kepada orang lain, meminta untuk ditafsirkan mimpinya, serta bolehnya untuk menafsirkan mimpi orang lain. Namun, Nabi SAW memberikan kaidah-kaidah mimpi apa saja yang boleh ditafsirkan.

Dalam riwayat Auf bin Malik, Nabi SAW membagi tiga kriteria mimpi yang dialami manusia. Pertama, mimpi buruk atau menakutkan yang datang dari syetan dan membuat sedih. Kedua, mimpi yang menggelisahkan seseorang ketika terjaga dan terus terbawa dalam mimpinya. Ketiga, mimpi yang menjadi isyarat dari 46 bagian kenabian. (HR Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Majah).

Secara ringkas, hadis dari Abu Hurairah RA menyebutkan, "Mimpi itu ada tiga macam; bisikan hati, ditakuti setan, dan kabar gembira dari Allah." (HR Bukhari).

Jika seseorang mimpi pada kategori yang pertama maka mimpi ini tak perlu diceritakan apalagi ditafsirkan. Sebagaimana riwayat dari Jabir mengisahkan seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi SAW tentang mimpinya semalam. "Ya Rasulullah, aku bermimpi kemarin seakan-akan kepalaku dipenggal, bagaimana itu?" tanya laki-laki tersebut.

Rasulullah SAW pun bersabda, "Apabila setan mempermainkan salah seorang dari kalian di dalam tidurnya maka janganlah dia menceritakannya kepada orang lain." (HR Muslim).

Demikian juga mimpi kategori yang kedua. Mimpi buruk yang selalu teringat bisa jadi pertanda keburukan. Maka, hendaklah si pemimpi menahan diri untuk menceritakannya kepada orang lain.

Adapun mimpi jenis ketiga mengindikasikan kebenaran. Mimpi yang baik dan menggembirakan inilah yang patut diceritakan dan dimintakan penakwilannya kepada orang saleh. Imam Malik memesankan, tidak seluruh mimpi patut diceritakan. Hanya mimpi-mimpi yang baik saja yang patut untuk diceritakan.

Hal ini berdalil dengan hadis Rasulullah SAW, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik-baik saja atau diam." (HR Bukhari Muslim). Demikian juga dalam hal menceritakan mimpi. Hendaklah mimpi yang diceritakan hanya mimpi yang baik-baik saja.

Adab saat mimpi buruk

Mimpi buruk hendaknya segera dilupakan. Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian mengalami mimpi buruk, hendaknya meludah ke kiri tiga kali dan memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan dan dari dampak buruk mimpi. Kemdian, jangan ceritakan mimpi itu kepada siapa pun maka mimpi itu tidak akan memberikan dampak buruk kepadanya." (HR Bukhari Muslim).

Setelah meludah tiga kali sebagai isyarat "pelecehan" kepada setan yang mengganggu melalui mimpi, tidak mengapa untuk melanjutkan tidur kembali. Sebelum tidur jangan lupa untuk membaca doa. Setelah kembali tidur dan mimpi buruk lagi, disunahkan untuk pindah tempat tidur. Kemungkinan setan yang berada di tempat tersebut memang ingin mengganggu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement