REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah mualaf merujuk pada Alquran surah at-Taubah ayat 60, berlaku untuk umum. Kata mualaf, menurut Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yunahar Ilyas, tidak hanya diperuntukkan bagi Muslim yang baru memeluk Islam, tetapi juga dipakai untuk mendekati mereka yang non-Muslim.
“Konsepsi mualaf bersifat umum,” kata Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu. Berikut petikan perbincangan wartawan Republika, Nashih Nashrullah, dengan sosok yang juga menjabat ketua MUI Pusat tersebut:
Siapa yang disebut mualaf?
Mualaf artinya luas. Konsep mualaf umum, tidak hanya yang baru masuk Islam, bahkan mereka yang belum masuk Islam pun bisa dikategorikan mualaf, jika memang akan didekati hatinya, bahkan non-Muslim yang kita perlu dekati dia, untuk beri perlindungan ke umat Islam, bisa dianggap sebagai mualaf. Konsepsi mualaf yang bersifat umum, ini seperti juga ditegaskan dalam surah at-Taubah ayat 60. Zakat tidak hanya yang masuk Islam, tetapi siapa saja yang akan didekati hatinya untuk kepentingan Islam. Tapi, pemahaman yang jamak dipahami masyarakat kita, mualaf hanya baru masuk Islam. Karena itu, bagi saya Yusuf Islami, bukan mualaf.
Seperti apa potret mualaf di era awal dakwah?
Hampir semua mualaf, sahabat generasi awal mualaf, jadi seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, ketika itu bisa dikatakan semua mualaf. Jadi jika dicermati, mereka dirangkul dari segi perhatian. Rasulullah SAW mendidik mereka. Itu nomor satu. Yang kita kurang adalah sisi ini, yakni pembinaan. Memang ekonomi dan finansial perlu, tetapi jangan lupakan pendidikan dan pembinaan.
Apakah ada pembatasan 'usia' mualaf?
Pembatasan itu tidak ada. Karena itu, menurut saya, perlu ada pembatasan waktu disebut mualaf. Berpatokan dengan kebijakan Umar bin Khatab, tiga tahun tidak layak disebut mualaf. Seperti kebijakan Umar menghadapi dua sahabat yang tetap ingin dianggap mualaf. Mereka tidak lagi meminta hak zakatnya, kecuali karena alasan lain, misal atas pertimbangan kefakiran atau kemiskinan. Jika alasan mualaf dengan pengertian baru masuk Islam, tampaknya tidak. Saya tidak menemukan angka pembatasan memang. Bagi saya pribadi, berpikir tiga tahun cukup. Pertama masuk Islam mualaf, kalau sudah lewat tiga tahun saya kira tidak mualaf lagi. Di Indonesia, kadang 25 tahun pun berislam pun masih dianggap mualaf.
Kini, pembinaan mualaf menjadi tanggung jawab bersama?
Benar, semuanya bisa berkontribusi. Pertama, meminta lembaga dakwah, ormas, memberi perhatian kepada mualaf. Artinya, yang baru masuk Islam, dibimbing keislamannya. Kedua, dibantu problem hidup, karena masuk Islam, dapat masalah. Akan lebih baik lagi tugas ini dikerjakan oleh pemerintah, seperti Kementerian Agama. Ada Dirjen Bimas Islam, misalnya. Di AS, urusan mualaf diurus oleh Islamic Centre New York. Demikian juga di Jeddah, lembaga swasta atau pemerintah berbondong-bondong membina mualaf.
Sumber: Koran Republika